Senin, 14 Maret 2011

Lelaki Sajak dan Kunang-kunang

ini tidak seperi apa yang kau bayangkan. ini tentang kebebasan. tentang perasaan. bukan tentang menjadi orang baik. tapi bagaimana menghadapi orang baik.

rasanya seperti tercekat di leher, ketika aku membaca sajak untuk mantan kekasihnya. kawan, ini tidaklah mudah. rasai saja, dan jangan dibayangkan. oh, aku jatuh cinta. seperti ini rasanya? tak terdefinisi. tapi akan aku coba uraikan, kawan.

inilah hujan pertama. wangi sekali. seperti satu rahasia yang paling aku suka. dan ini sangat rahasia. tingkat tinggi. bahkan sering kali aku sampai merahasiakan ini dari diriku sendiri. ini rahasianya; aku begitu menjatuhcintai hujan pertama. seperti yang kuyakini --sejak beberapa tahun lalu setelah aku menonton serial kartun jepang di salah satu stasiun televisi-- jika tetes pertama di hujan pertama mengenai hidungmu, artinya adalah dia (orang yang kau cintai) juga mencintaimu. hehe... begitu seterusnya yang kuyakini hingga hari ini. ya, aku sadar benar bahwa aku ini pengkhayal kelas gurita. tentakel khayalanku bergerak tak terkendali menghisapi mimpi-mimpi dalam nyenyaknya alam, juaranya semusim, dan kekanakkannya aku. juga kemahaagungan Allah.

kemudian yang paling kurindu adalah desember. bulan penghasil hujan yang paling sempurna. membuatku begitu mengagumi desember. selain itu, aku begitu mengagumi desember karena aku juga lahir di bulan desember. sungguh alasan yang tidak objektif. beruntungnya aku menjadi perempuan desember yang misterius. tapi sialnya, aku tidak pernah berpikir. selalu mengandalkan perasaan dalam segala hal. dan hebatnya, tidak ada kata sial dalam kamus hidupku. sehingga kesialan itu kumaknai sebagai efek samping. dan, kawan, tahukah apa efek sampingnya? akulah perempuan desember paling naif nomor satu sedunia (berdasarkan hasil risetku sendiri, dengan dibantu tuan jendela dan nyonya gorden lapuk di kamarku).


kebebasan.


perasaan.


dua kata cinta itu begitu bergemuruh tak mau diam di otakku. karena tak juga kutemukan maknanya. hampir putus asa. hingga suatu ketika aku bertemu dengan lelaki sajak yang tinggal di tengah bukit kabut di alam fatamorgana. sebut saja kami bertemu di kota hampa bernilai nol.

dari sinilah cerita kita dimulai, kawan!

ketika itu aku, hujan pertama, berada dalam posisi yang terbilang unik. jungkir balik mengejar cinta seorang tuan sempurna yang tak pernah sedikit pun acuh padaku. tidak apa-apa, kawan. tuan sempurna telah mengajariku untuk mengkristalkan kemalangan yang kualami menjadi tak berarti apa-apa untuk berbagai kemalangan gara-gara cinta sekarang ini. aku kebal. hehe...

yang ini boleh kau bayangkan, aku sudah lakukan banyak hal untuknya, sudah cintai dia dengan segala yang aku miliki. dan begitulah, kawan. efek samping hujan pertama, memang tidak sedikit membuat orang jengkel, apalagi bagi orang-orang yang tidak pernah membawa payung. maksudnya? sudahlah. mari kulanjutkan lagi ceritanya. maka, dengan berasaskan kitab hukum kuno bab 'cinta tanpa alasan', kulepas segala inginku atas tuan sempurna. karena jika aku memaksa bertahan, betapa terlalu murahannya air mataku ini untuk menangisi kebodohanku sendiri. hingga akhirnya aku berada pada nadir kesadaran. ini bukan cinta, tapi hanya kagum. cocok. tepat sekali, kagum!

kebebasan.

maka setelahnya kebebasan kutemukan. kebebasan sekarang telah jadi milikku. milikku seorang. aku lepas, berlari, memunguti serpihan senyum yang sempat lenyap memuai. kurekatkan sekeping demi sekeping. sampai utuh. dan kini aku adalah hujan pertama dengan senyum baru yang telah berganti hati.

kemana pun aku pergi, --entah menjemput senja, merangkai awan, mengejar angin, menantang langit, memanjat bulan-- apapun yang kulakukan, semuanya sambil tersenyum. menyenangkan sekali. aku bahagia. sebuah perasaan langka dalam hidupku. bangga sekali memilikinya: bahagia dengan banyak senyum. lalu perlahan lelaki sajak mencemari aku sejak pertemuan pertama kami di kota hampa bernilai nol itu. mendadak semua yang sudah kembali utuh, pecah. lenyap memuai...

perasaan.

sayang. itu perasaan pertama yang lahir dari dalam hatiku. sayang itu, yang entah bagaimana caranya selalu berhasil membuatku menunggu lelaki sajak datang menemuiku (meskipun pada kenyataannya lelaki sajak tidak pernah menemuiku).

seperti pagi ini.

langit masih mendung, tanah masih basah dan beraroma wangi, khas sehabis hujan. begitu aku sukai. dan sekaligus selalu membuatku dingin dan dehidrasi. maka aku bergerak menuju dapur untuk menyeduh dua cangkir teh manis-hangat. satu untukku, satu untuk lelaki sajak. tidak lama setelah itu, lelaki sajak tiba di rumah pohon tempat aku tinggal. rumah pohon yang sengaja kubuat dengan semangat lelaki sajak yang tak pernah mau kuminta istirahat.

sekali pun lelaki sajak kukatakan tiba di rumah pohon, dia tidak benar-benar datang. dan belum pernah aku bertatap dengannya secara langsung.

selama ini, kami selalu bertemu di tempat yang sama (bumi Allah) tapi dalam hitungan dimensi yang berbeda. tentu saja, kawan, namanya juga alam fatamorgana. hehe...

hari ini aku, hujan pertama, si perempuan desember paling naif nomor satu sedunia membuat sebuah puisi. bayangkan kawan, puisi! betapa kata puisi begitu mewah terdengar di telingaku. dalam pikiranku, seseorang yang mampu membuat bait puisi tentulah orang itu begitu luhur, suci. karena bagiku, puisi setara dengan bahasa para peri yang lembut. dan tentu saja, tidak bisa kumengerti. maklumlah, aku hanya bisa mengerti jika mendengar atau mengeja kalimat sederhana. terlebih sajak. aku sama sekali tidak mengerti dengan salah satu bentuk sastra yang berciri mantra, rima, tanpa rima, ataupun kombinasi keduanya. aku bingung. tapi aku jadi tergoda membayangkan lelaki sajak merangkai kata-kata yang topang-menopang dan berjalinan dalam arti dan irama untuk sebuah sajak. wah..., pasti menyenangkan duduk disampingnya. menemaninya menulis sajak. oh, baiklah. cukup. ini isi puisiku, kawan!

gelembung sabun

berpendar mengitar

membiaskan warna pelangi

berdegradasi

temani aku

ikatkan sepi

kemasi dingin

jaringkan kunang-kunang

tertawalah, kawan! tidak apa-apa. puisiku itu memang puisi bohongan. tidak bagus. tidak jelas ikatan irama atau rima-nya.

dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, sepanjang aku bernafas, ada seorang laki-laki mengatakan 'suka' padaku. keliru. tepatnya menulis kata 'suka' untukku dalam helaian perkamen di alam fatamorgana. ahai! aku gr, kawan!

kawan, percayalah. serta merta aku begitu mencintainya. menyayanginya. sangat menginginkannya. sungguh irasional sekaligus mengada-ada. karena aku ada di dalam rumah pohon. sementara lelaki sajak tetap di luar sana, di antara kabut. seperti yang telah kusebutkan, di tempat yang sama (bumi Allah) tapi dalam hitungan dimensi yang berbeda. sungguh, Allah Maha Luar Biasa ketika membolak-balik hati makhluk-Nya. begitu mudahnya menjatuhcintai lelaki sajak. seperti begitu mudahnya menjatuhcintai hujan pertama, bagiku.

perasaan itu membuatku tertantang untuk berdoa lebih khusyuk. untuk sujud lebih dalam. lalu, kawan, tiba-tiba aku merasa disemangati seribu malaikat. aku keluar dari rumah pohon. berlari liar di antara semak, akar gantung, daun jatuh, di tengah hutan belukar (hehe... aku berlebihan, kawan. kenyataannya tidak seperti itu ^^V) hingga tanpa aku sadar, bukit kabut sudah ada di depanku.

kembali aku berdoa.

perlahan angin sejuk dan ramah muncul --seperti ada yang menggerakkan mereka-- dari arah utara. sedikit kabut terkesiap. dan tebaklah, kawan. siapa yang kulihat dibalik kabut tebal itu?

disana, di tengah-tengah kabut yang tebal bergulung-gulung itui aku melihatnya. lelaki sajak. dia sama seperti yang kubayangkan selama ini. sama seperti teman khayalanku sejak aku masih kecil. alter ego-ku. percayalah kawan. lelaki sajak itu adalah teman khayalanku yang selalu ada untuk aku. menggandeng tanganku ketika aku sendiri. mengelus kepalaku saat aku keliru melakukan sesuatu. berdiri di sampingku saat aku kehujanan. melepas tali sepatuku saat aku lelah dan tertidur tanpa sempat melepasnya. lelaki sajak itu adalah wujud nyata teman khayalanku sejak aku kecil, kawan! hanya saja, selama aku memutuskan memiliki teman khayalan, tak pernah sedikit pun terlintas untuk membayangkan wajahnya. selama hidupku, selalu ku kaburkan wajah teman khayalanku. agar kelak, aku benar-benar bisa menyaksikan wujud nyatanya. dan benar saja, kawan! saat ini aku bisa melihat wajahnya. tidak mirip denganku. karena dia selalu cemberut. tapi aku suka. dia lucu, kawan!

aku mendekatinya. dan dia diam saja. hanya menatapku lekat-lekat. barangkali dia berpikir aku ini arwah gentayangan yang mencoba menerkamnya.

aku menyapanya dengan senyum. aku yakin sekali dia jatuh cinta pada senyumku. hehe... aku bercanda kawan! aku harap dia jatuh cinta pada keimananku pada Allah saja. karena itu satu-satunya yang kumiliki, abadi.

dia duduk diantara hamparan rumput basah di bawah pohon jati dengan daunnya yang hijau sehat. kuperhatikan sekeliling. semuanya gelap. disesaki kabut. dan di samping pohon jatinya teronggok sebuah sepeda dengan rantai yang lepas.

aku menuntun sepedanya ke hadapan lelaki sajak.

"kenapa rantainya tak kau perbaiki?"

dan dia masih diam saja. lalu dengan kemampuanku yang terbatas, aku mencoba meletakkan rantai itu pada tempatnya. sangat mudah kawan. tak perlu banyak waktu aku sudah mampu memperbaikinya.

"ayo, main..." aku meminta lelaki sajak untuk segera berdiri dari duduknya. dan dia tetap tak acuh. dia masih diam saja. dan aku pun jadi ikut diam.

dia menatap kakinya dalam-dalam.oh, lelaki sajakku. dia lumpuh. kakinya tak bisa digerakkan. dia tak mampu berjalan.

dengan sejuta akal tengikku, aku membujuknya agar mau ku bonceng.

"ayo, naiklah. ku ajak kau berkeliling sebentar."

akhirnya dia menurut, mungkin dia tidak tega melihatku merengek. tidak apa-apa. asalkan dia mau ikut denganku.

kawan, percayalah cinta sudah membuatku setengah gila, seperti orang kesurupan. kudeskripsikan sedikit. lelaki sajak itu lebih tinggi dari aku jika mungkin kami berdiri bersebelahan. tubuhnya jelas lebih berisi karena dia laki-laki. aku kalah kuat. tapi ajaibnya, aku mampu mengayuh pedal sepeda itu dan memboncengnya melintasi kabut. kami menuruni bukit kabut dengan kabut sejauh mata memandang. membuatku kesulitan melihat arah dan jalan yang kami lalui. tapi bukan perempuan desember jika bukan aku yang selalu mampu meraba segala dengan perasaan. dan dengan kompas perasaan itulah, kami berhasil tidak tersesat.

sekitar setengah jam aku mengayuh sepeda dengan lelaki sajak duduk kubonceng di belakangku.

kami sampai. tebak dimana kami, kawan? pantai!

aku membantunya duduk di atas hamparan pasir yang damai. keletakkan sepeda itu tidak jauh dari kami. lalu aku duduk di sampingnya dan bertanya, "kau pernah berlari?"

lelaki sajak masih saja diam, lalu menggelengkan kepalanya.

"kau mau berlari?"

dan kali ini dia menatapku dalam-dalam, lekat sekali. membuatku sangat gugup. dan aku mendengar detak jantungnya. aku mendengar darahnya mengalir. aku mengerti. sungguh lelaki sajak, tak perlu kau bicara, aku sudah bisa tahu maumu.

"kupinjamkan kakiku. pakailah..."

lelaki sajak tertawa. menyenangkan sekali mendengar tawanya. rasanya seperti mendapat sesuatu yang luar biasa dan tak ternilai harganya. dia tampan jika tidak sedang cemberut. apalagi jika kubayangkan dia mengenakan peci di kepalanya. tentulah aku bisa mati muda telah menjatuhcintainya. alasannya sederhana. mungkin dia tidak akan benar-benar memiliki perasaan yang sama denganku. ironi.

aku mengerti benar bahwa meminjamkan kakiku hanyalah ide gila dari otak pengkhayal kelas gurita-ku.

"baiklah. simak aku. dengarkan hentakan kakiku pada pasir di hadapan kita ini. perhatikan arah angin yang pasti nanti akan menampar wajahku. tatap lekat jilbabku yang pasti akan berantakan ketika aku melawan arah angin. lihat aku sebaik mungkin. rasakan aku. berkonsentrasilah setinggi kau mampu. aku-akan-berlari-untukmu..."

lelaki sajak tersenyum. aku yakin hatinyalah yang sesungguhnya sedang tersenyum. aku suka.

aku mulai berlari. berlari. berlari. sekuat dan sejauh aku bisa.

butir-butir pasir dengan sangat tidak berperikeberpasiran menyelusup ke beberapa bagian telapak kakiku. masuk ke dalam kulit ari-ku.

ombak sang prajurit laut pun tak mau kalah ikut menggoyahkan pijakkanku dengan arusnya yang kuat, membuat seluruh tubuhku perih.

aku masih berlari hingga aku sadar aku telah terlalu jauh. ketika aku memalingkan pandanganku ke belakang, lelaki sajak sudah tidak terlihat. dan sekarang di hadapanku terbentang luas padang rumput hijau yang di satu bagiannya berjejer rapi barisan pemakaman. aku berjalan perlahan mengikuti seekor serangga yang berkilauan. ya, kunang-kunang.

kunang-kunang itu menuju kawanannya. sangat banyak. ratusan. bahkan ribuan kunang-kunang di padang rumput pemakanan. dan aku yang selalu beruntung, telah menemukan sebuah toples kaca di dekat salah satu nisan. dengan sopan --seakan aku ngeri si pemilik toples tersebut akan bangkit dari kuburnya karena tak rela toples miliknya kuambil, tapi tentu saja hal itu tidak terjadi, kawan-- aku mengambil toples itu. kujaring lima belas ekor kunang-kunang dengan jariku sendiri. lalu kumasukkan mereka ke dalam toples kaca.

aku berlari, kembali ke pantai.

dan aku masih melihat lelaki sajak duduk di sana, di tempat tadi dia kutinggalkan. di atas pasir yang sama, dan cemberut.

aku berlari menghampirinya. dia menyambut dengan senyumnya.

"terimakasih..." oh, akhirnya dia berbicara juga "...kau-sudah-berlari-untukku."

"aku akan melakukannya lagi. lagi. lagi. terus-menerus sekehendakmu jika kau mau."

dan lelaki sajak itu tertawa lagi. ah, menyenangkan sekali mendengarnya tertawa, kawan! aku jadi ikut tertawa.

sudah sore.

kami harus pulang. kembali aku memboncengnya. sepertinya kali ini dia sudah terbiasa. dia tidak lagi cemberut.

kukayuh sepedanya menaiki bukit. wah, berat sekali. tapi orang yang kubonceng adalah lelaki sajak. tak boleh ada kata lelah. aku harus kuat, kawan!

dan kami sudah sampai di bawah pohon jati tempat lelaki sajak itu tinggal. tapi di sana sudah ada seseorang yang menunggu dengan cemas. seorang wanita cantik. cantik sekali. kecantikannya melebihi artis sinetron. wanita itu hitam manis, auranya luar biasa. tidak seperi aku. oh, aku tidak sanggup jika harus menceritakan perbandinganku dengan wanita cantik itu. aku pasti kalah saing. hehe...

satu hal saja, wanita cantik itu adalah mantan kekasih lelaki sajak. satu-satunya wanita yang pernah dibuatkan sajak olehnya. sebenarnya aku iri sekali. sangat iri. aku juga ingin bisa menjadi inspirasinya dalam membuat sajak. aku juga ingin dibuatkan sajak olehnya. tapi sudahlah kawan, kita tidak boleh berharap sesuatu pada makhluk. bisa gila nanti kalau si makhluk itu tidak mampu memenuhi harapan kita.

aku membantu lelaki sajak untuk duduk di atas rumput yang sama. rumput yang harum sekali. luar biasa harumnya. dan hari sudah malam sekarang. gelap. semakin gelap saja.

dan aku teringat sesuatu. kunang-kunang.

"ini." kataku sambil menyerahkan satu toples berisi lima belas ekor kunang-kunang.

"untuk apa?"

"menerangimu. dan juga wanita cantik itu." aku mencoba menjejalkan senyum di wajahku yang tidak dianugerahi kecantikan. "kau punya hati yang kapan saja boleh kau bebaskan. terserah. tapi, sesekali kunci logikamu. dengarkan perasaanmu." aku mengoceh seperti seorang nenek menasehati cucunya. sementara lelaki sajak kembali diam. dan wanita cantik juga diam, cantik sekali. bahkan ketika diam tanpa senyum.

"dalam gelap-sepi yang hening ini, kutinggalkan kau dengan wanita cantik mantan kekasihmu dan setoples kunang-kunang dariku."

lelaki sajak diam.

"pelajarilah caraku. jika sudah kau temukan jawaban, kau tahu dimana harus mencariku."

aku pergi dengan bekal senyum dari lelaki sajak. inilah yang kumaksud dengan mendadak semua yang sudah kembali utuh, pecah. lenyap memuai...

tamat.

begitulah, kawan. ini bukan tentang bagaimana menjadi orang baik. tapi bagaimana menghadapi orang baik.

ayolah..., ini fiksi eksperimenku. hanya rekaan, kawan! :)

Surat

pak pos tiba-tiba berdiri di depan pintu rumah. apa yang dibawanya? whoaa... sekeranjang bunga lili putih! kok bisa? kutanya pada beliau, "untuk siapa bunganya?". beliau menjawab "untukmu, dik."

kubaca, kertas kecil yang terselip di antara tangkainya, "dariku untukmu, sayang... :)" dan aku mendadak dijatuhi bahagia. aku mendapat kiriman sekeranjang lili putih yang ditaruh sembarang, tanpa dirangkai. tapi jauh di otakku, aku heran; kenapa pak pos menjadi pengantar bunga?

aku berlari ke ujung bukit. di sana, ada rumah pohon. aku naik ke atasnya. kulihat danau teratai dengan belasan angsa putih bersenang-senang di antaranya. aku menutup mata, kuciumi bau rumput, dan kumpulan sinar kunang-kunangnya mampu menembus kelopak mataku. aku dibelai angin. lalu kubuka mataku, dan aku masih disini. duduk di sudut kamarku sedang menggenggam erat batang gulali. lalu, aku tersenyum menghampiri jendela. o..., di luar masih hujan. baguslah.

Loemongga

dia tidak pernah mengejar apapun, siapapun. dia berdiri sendiri dan hanya mengikuti arah matanya, Tuhannya. dia berlari, menepi ke tempat-tempat yang dia maui. begitu seterusnya. bebas. tidak terikat. seperti angin. dan penulis itu berucap jangan pernah ceraikan angin dari awan. itu akan sangat menyakitkan.. :)

Tentang Dia (Saja)

11 Januari
Dia dan nya.
Masihkah? Ada ragu ketika itu. Tapi dia nekat saja. Lama... Lama sekali. Padahal hanya sekitar sepuluh menit. Dia matikan, lalu dihidupkan kembali. Dan akhirnya ada ucapan terimakasih disana.
Namun selalu saja nya memenuhi hari-hari dia dengan larangan yang berujung tangis. Dia tidak pernah merasa nyaman dengan nya, sekali pun begitu dia yakin nya adalah untuk dia.
Penantian haru duka itu diselesaikan dengan sebuah saling tatap. Tanpa arti. Sia-sia yang menyisakan halaman pelajaran bernilai. Tamat dengan cara yang sadis. Tanpa ada sedikit belas kasihan. Jahat.
Dia dan ia.
Dia, selalu senang jika ia ada didekat dia. Senang dengan cara yang tak mampu dijelaskan. Karena ia memang tidak pernah ada. Sehingga tidak perlu ada yang dirasa selain rasa senang.
Dia, untuk kain putih bernama kafan. Dan bukan kanvas. Pasti akan ada yang bisa menterjemah dia. Semoga. Amin.

Meja

sudah kubingkai
tertatih, belajar berjalan
telah tertinggal banyak hal
malam yang dihadapi dengan tangis tertahan
tahun-tahun yang melelahkan
terlepas
sudah kubingkai

sudah sembuh
kesembuhan yang dipaksakan
semua sudah pada tempatnya
ingin diambil kembali?
jangan mimpi!
jangan ganggu. aku galak.

jangan mendekat. aku berduri.
jangan akting. aku sutradara.
jangan memelas. aku tidak iba.
menjauhlah..

Berbalik?

sudah kubingkai
tertatih, belajar berjalan
telah tertinggal banyak hal
malam yang dihadapi dengan tangis tertahan
tahun-tahun yang melelahkan
terlepas
sudah kubingkai

sudah sembuh
kesembuhan yang dipaksakan
semua sudah pada tempatnya
ingin diambil kembali?
jangan mimpi!
jangan ganggu. aku galak.

jangan mendekat. aku berduri.
jangan akting. aku sutradara.
jangan memelas. aku tidak iba.
menjauhlah..

Segelas Air Mata

...





































tersenyumlah..