Senin, 14 Maret 2011

Lelaki Sajak dan Kunang-kunang

ini tidak seperi apa yang kau bayangkan. ini tentang kebebasan. tentang perasaan. bukan tentang menjadi orang baik. tapi bagaimana menghadapi orang baik.

rasanya seperti tercekat di leher, ketika aku membaca sajak untuk mantan kekasihnya. kawan, ini tidaklah mudah. rasai saja, dan jangan dibayangkan. oh, aku jatuh cinta. seperti ini rasanya? tak terdefinisi. tapi akan aku coba uraikan, kawan.

inilah hujan pertama. wangi sekali. seperti satu rahasia yang paling aku suka. dan ini sangat rahasia. tingkat tinggi. bahkan sering kali aku sampai merahasiakan ini dari diriku sendiri. ini rahasianya; aku begitu menjatuhcintai hujan pertama. seperti yang kuyakini --sejak beberapa tahun lalu setelah aku menonton serial kartun jepang di salah satu stasiun televisi-- jika tetes pertama di hujan pertama mengenai hidungmu, artinya adalah dia (orang yang kau cintai) juga mencintaimu. hehe... begitu seterusnya yang kuyakini hingga hari ini. ya, aku sadar benar bahwa aku ini pengkhayal kelas gurita. tentakel khayalanku bergerak tak terkendali menghisapi mimpi-mimpi dalam nyenyaknya alam, juaranya semusim, dan kekanakkannya aku. juga kemahaagungan Allah.

kemudian yang paling kurindu adalah desember. bulan penghasil hujan yang paling sempurna. membuatku begitu mengagumi desember. selain itu, aku begitu mengagumi desember karena aku juga lahir di bulan desember. sungguh alasan yang tidak objektif. beruntungnya aku menjadi perempuan desember yang misterius. tapi sialnya, aku tidak pernah berpikir. selalu mengandalkan perasaan dalam segala hal. dan hebatnya, tidak ada kata sial dalam kamus hidupku. sehingga kesialan itu kumaknai sebagai efek samping. dan, kawan, tahukah apa efek sampingnya? akulah perempuan desember paling naif nomor satu sedunia (berdasarkan hasil risetku sendiri, dengan dibantu tuan jendela dan nyonya gorden lapuk di kamarku).


kebebasan.


perasaan.


dua kata cinta itu begitu bergemuruh tak mau diam di otakku. karena tak juga kutemukan maknanya. hampir putus asa. hingga suatu ketika aku bertemu dengan lelaki sajak yang tinggal di tengah bukit kabut di alam fatamorgana. sebut saja kami bertemu di kota hampa bernilai nol.

dari sinilah cerita kita dimulai, kawan!

ketika itu aku, hujan pertama, berada dalam posisi yang terbilang unik. jungkir balik mengejar cinta seorang tuan sempurna yang tak pernah sedikit pun acuh padaku. tidak apa-apa, kawan. tuan sempurna telah mengajariku untuk mengkristalkan kemalangan yang kualami menjadi tak berarti apa-apa untuk berbagai kemalangan gara-gara cinta sekarang ini. aku kebal. hehe...

yang ini boleh kau bayangkan, aku sudah lakukan banyak hal untuknya, sudah cintai dia dengan segala yang aku miliki. dan begitulah, kawan. efek samping hujan pertama, memang tidak sedikit membuat orang jengkel, apalagi bagi orang-orang yang tidak pernah membawa payung. maksudnya? sudahlah. mari kulanjutkan lagi ceritanya. maka, dengan berasaskan kitab hukum kuno bab 'cinta tanpa alasan', kulepas segala inginku atas tuan sempurna. karena jika aku memaksa bertahan, betapa terlalu murahannya air mataku ini untuk menangisi kebodohanku sendiri. hingga akhirnya aku berada pada nadir kesadaran. ini bukan cinta, tapi hanya kagum. cocok. tepat sekali, kagum!

kebebasan.

maka setelahnya kebebasan kutemukan. kebebasan sekarang telah jadi milikku. milikku seorang. aku lepas, berlari, memunguti serpihan senyum yang sempat lenyap memuai. kurekatkan sekeping demi sekeping. sampai utuh. dan kini aku adalah hujan pertama dengan senyum baru yang telah berganti hati.

kemana pun aku pergi, --entah menjemput senja, merangkai awan, mengejar angin, menantang langit, memanjat bulan-- apapun yang kulakukan, semuanya sambil tersenyum. menyenangkan sekali. aku bahagia. sebuah perasaan langka dalam hidupku. bangga sekali memilikinya: bahagia dengan banyak senyum. lalu perlahan lelaki sajak mencemari aku sejak pertemuan pertama kami di kota hampa bernilai nol itu. mendadak semua yang sudah kembali utuh, pecah. lenyap memuai...

perasaan.

sayang. itu perasaan pertama yang lahir dari dalam hatiku. sayang itu, yang entah bagaimana caranya selalu berhasil membuatku menunggu lelaki sajak datang menemuiku (meskipun pada kenyataannya lelaki sajak tidak pernah menemuiku).

seperti pagi ini.

langit masih mendung, tanah masih basah dan beraroma wangi, khas sehabis hujan. begitu aku sukai. dan sekaligus selalu membuatku dingin dan dehidrasi. maka aku bergerak menuju dapur untuk menyeduh dua cangkir teh manis-hangat. satu untukku, satu untuk lelaki sajak. tidak lama setelah itu, lelaki sajak tiba di rumah pohon tempat aku tinggal. rumah pohon yang sengaja kubuat dengan semangat lelaki sajak yang tak pernah mau kuminta istirahat.

sekali pun lelaki sajak kukatakan tiba di rumah pohon, dia tidak benar-benar datang. dan belum pernah aku bertatap dengannya secara langsung.

selama ini, kami selalu bertemu di tempat yang sama (bumi Allah) tapi dalam hitungan dimensi yang berbeda. tentu saja, kawan, namanya juga alam fatamorgana. hehe...

hari ini aku, hujan pertama, si perempuan desember paling naif nomor satu sedunia membuat sebuah puisi. bayangkan kawan, puisi! betapa kata puisi begitu mewah terdengar di telingaku. dalam pikiranku, seseorang yang mampu membuat bait puisi tentulah orang itu begitu luhur, suci. karena bagiku, puisi setara dengan bahasa para peri yang lembut. dan tentu saja, tidak bisa kumengerti. maklumlah, aku hanya bisa mengerti jika mendengar atau mengeja kalimat sederhana. terlebih sajak. aku sama sekali tidak mengerti dengan salah satu bentuk sastra yang berciri mantra, rima, tanpa rima, ataupun kombinasi keduanya. aku bingung. tapi aku jadi tergoda membayangkan lelaki sajak merangkai kata-kata yang topang-menopang dan berjalinan dalam arti dan irama untuk sebuah sajak. wah..., pasti menyenangkan duduk disampingnya. menemaninya menulis sajak. oh, baiklah. cukup. ini isi puisiku, kawan!

gelembung sabun

berpendar mengitar

membiaskan warna pelangi

berdegradasi

temani aku

ikatkan sepi

kemasi dingin

jaringkan kunang-kunang

tertawalah, kawan! tidak apa-apa. puisiku itu memang puisi bohongan. tidak bagus. tidak jelas ikatan irama atau rima-nya.

dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, sepanjang aku bernafas, ada seorang laki-laki mengatakan 'suka' padaku. keliru. tepatnya menulis kata 'suka' untukku dalam helaian perkamen di alam fatamorgana. ahai! aku gr, kawan!

kawan, percayalah. serta merta aku begitu mencintainya. menyayanginya. sangat menginginkannya. sungguh irasional sekaligus mengada-ada. karena aku ada di dalam rumah pohon. sementara lelaki sajak tetap di luar sana, di antara kabut. seperti yang telah kusebutkan, di tempat yang sama (bumi Allah) tapi dalam hitungan dimensi yang berbeda. sungguh, Allah Maha Luar Biasa ketika membolak-balik hati makhluk-Nya. begitu mudahnya menjatuhcintai lelaki sajak. seperti begitu mudahnya menjatuhcintai hujan pertama, bagiku.

perasaan itu membuatku tertantang untuk berdoa lebih khusyuk. untuk sujud lebih dalam. lalu, kawan, tiba-tiba aku merasa disemangati seribu malaikat. aku keluar dari rumah pohon. berlari liar di antara semak, akar gantung, daun jatuh, di tengah hutan belukar (hehe... aku berlebihan, kawan. kenyataannya tidak seperti itu ^^V) hingga tanpa aku sadar, bukit kabut sudah ada di depanku.

kembali aku berdoa.

perlahan angin sejuk dan ramah muncul --seperti ada yang menggerakkan mereka-- dari arah utara. sedikit kabut terkesiap. dan tebaklah, kawan. siapa yang kulihat dibalik kabut tebal itu?

disana, di tengah-tengah kabut yang tebal bergulung-gulung itui aku melihatnya. lelaki sajak. dia sama seperti yang kubayangkan selama ini. sama seperti teman khayalanku sejak aku masih kecil. alter ego-ku. percayalah kawan. lelaki sajak itu adalah teman khayalanku yang selalu ada untuk aku. menggandeng tanganku ketika aku sendiri. mengelus kepalaku saat aku keliru melakukan sesuatu. berdiri di sampingku saat aku kehujanan. melepas tali sepatuku saat aku lelah dan tertidur tanpa sempat melepasnya. lelaki sajak itu adalah wujud nyata teman khayalanku sejak aku kecil, kawan! hanya saja, selama aku memutuskan memiliki teman khayalan, tak pernah sedikit pun terlintas untuk membayangkan wajahnya. selama hidupku, selalu ku kaburkan wajah teman khayalanku. agar kelak, aku benar-benar bisa menyaksikan wujud nyatanya. dan benar saja, kawan! saat ini aku bisa melihat wajahnya. tidak mirip denganku. karena dia selalu cemberut. tapi aku suka. dia lucu, kawan!

aku mendekatinya. dan dia diam saja. hanya menatapku lekat-lekat. barangkali dia berpikir aku ini arwah gentayangan yang mencoba menerkamnya.

aku menyapanya dengan senyum. aku yakin sekali dia jatuh cinta pada senyumku. hehe... aku bercanda kawan! aku harap dia jatuh cinta pada keimananku pada Allah saja. karena itu satu-satunya yang kumiliki, abadi.

dia duduk diantara hamparan rumput basah di bawah pohon jati dengan daunnya yang hijau sehat. kuperhatikan sekeliling. semuanya gelap. disesaki kabut. dan di samping pohon jatinya teronggok sebuah sepeda dengan rantai yang lepas.

aku menuntun sepedanya ke hadapan lelaki sajak.

"kenapa rantainya tak kau perbaiki?"

dan dia masih diam saja. lalu dengan kemampuanku yang terbatas, aku mencoba meletakkan rantai itu pada tempatnya. sangat mudah kawan. tak perlu banyak waktu aku sudah mampu memperbaikinya.

"ayo, main..." aku meminta lelaki sajak untuk segera berdiri dari duduknya. dan dia tetap tak acuh. dia masih diam saja. dan aku pun jadi ikut diam.

dia menatap kakinya dalam-dalam.oh, lelaki sajakku. dia lumpuh. kakinya tak bisa digerakkan. dia tak mampu berjalan.

dengan sejuta akal tengikku, aku membujuknya agar mau ku bonceng.

"ayo, naiklah. ku ajak kau berkeliling sebentar."

akhirnya dia menurut, mungkin dia tidak tega melihatku merengek. tidak apa-apa. asalkan dia mau ikut denganku.

kawan, percayalah cinta sudah membuatku setengah gila, seperti orang kesurupan. kudeskripsikan sedikit. lelaki sajak itu lebih tinggi dari aku jika mungkin kami berdiri bersebelahan. tubuhnya jelas lebih berisi karena dia laki-laki. aku kalah kuat. tapi ajaibnya, aku mampu mengayuh pedal sepeda itu dan memboncengnya melintasi kabut. kami menuruni bukit kabut dengan kabut sejauh mata memandang. membuatku kesulitan melihat arah dan jalan yang kami lalui. tapi bukan perempuan desember jika bukan aku yang selalu mampu meraba segala dengan perasaan. dan dengan kompas perasaan itulah, kami berhasil tidak tersesat.

sekitar setengah jam aku mengayuh sepeda dengan lelaki sajak duduk kubonceng di belakangku.

kami sampai. tebak dimana kami, kawan? pantai!

aku membantunya duduk di atas hamparan pasir yang damai. keletakkan sepeda itu tidak jauh dari kami. lalu aku duduk di sampingnya dan bertanya, "kau pernah berlari?"

lelaki sajak masih saja diam, lalu menggelengkan kepalanya.

"kau mau berlari?"

dan kali ini dia menatapku dalam-dalam, lekat sekali. membuatku sangat gugup. dan aku mendengar detak jantungnya. aku mendengar darahnya mengalir. aku mengerti. sungguh lelaki sajak, tak perlu kau bicara, aku sudah bisa tahu maumu.

"kupinjamkan kakiku. pakailah..."

lelaki sajak tertawa. menyenangkan sekali mendengar tawanya. rasanya seperti mendapat sesuatu yang luar biasa dan tak ternilai harganya. dia tampan jika tidak sedang cemberut. apalagi jika kubayangkan dia mengenakan peci di kepalanya. tentulah aku bisa mati muda telah menjatuhcintainya. alasannya sederhana. mungkin dia tidak akan benar-benar memiliki perasaan yang sama denganku. ironi.

aku mengerti benar bahwa meminjamkan kakiku hanyalah ide gila dari otak pengkhayal kelas gurita-ku.

"baiklah. simak aku. dengarkan hentakan kakiku pada pasir di hadapan kita ini. perhatikan arah angin yang pasti nanti akan menampar wajahku. tatap lekat jilbabku yang pasti akan berantakan ketika aku melawan arah angin. lihat aku sebaik mungkin. rasakan aku. berkonsentrasilah setinggi kau mampu. aku-akan-berlari-untukmu..."

lelaki sajak tersenyum. aku yakin hatinyalah yang sesungguhnya sedang tersenyum. aku suka.

aku mulai berlari. berlari. berlari. sekuat dan sejauh aku bisa.

butir-butir pasir dengan sangat tidak berperikeberpasiran menyelusup ke beberapa bagian telapak kakiku. masuk ke dalam kulit ari-ku.

ombak sang prajurit laut pun tak mau kalah ikut menggoyahkan pijakkanku dengan arusnya yang kuat, membuat seluruh tubuhku perih.

aku masih berlari hingga aku sadar aku telah terlalu jauh. ketika aku memalingkan pandanganku ke belakang, lelaki sajak sudah tidak terlihat. dan sekarang di hadapanku terbentang luas padang rumput hijau yang di satu bagiannya berjejer rapi barisan pemakaman. aku berjalan perlahan mengikuti seekor serangga yang berkilauan. ya, kunang-kunang.

kunang-kunang itu menuju kawanannya. sangat banyak. ratusan. bahkan ribuan kunang-kunang di padang rumput pemakanan. dan aku yang selalu beruntung, telah menemukan sebuah toples kaca di dekat salah satu nisan. dengan sopan --seakan aku ngeri si pemilik toples tersebut akan bangkit dari kuburnya karena tak rela toples miliknya kuambil, tapi tentu saja hal itu tidak terjadi, kawan-- aku mengambil toples itu. kujaring lima belas ekor kunang-kunang dengan jariku sendiri. lalu kumasukkan mereka ke dalam toples kaca.

aku berlari, kembali ke pantai.

dan aku masih melihat lelaki sajak duduk di sana, di tempat tadi dia kutinggalkan. di atas pasir yang sama, dan cemberut.

aku berlari menghampirinya. dia menyambut dengan senyumnya.

"terimakasih..." oh, akhirnya dia berbicara juga "...kau-sudah-berlari-untukku."

"aku akan melakukannya lagi. lagi. lagi. terus-menerus sekehendakmu jika kau mau."

dan lelaki sajak itu tertawa lagi. ah, menyenangkan sekali mendengarnya tertawa, kawan! aku jadi ikut tertawa.

sudah sore.

kami harus pulang. kembali aku memboncengnya. sepertinya kali ini dia sudah terbiasa. dia tidak lagi cemberut.

kukayuh sepedanya menaiki bukit. wah, berat sekali. tapi orang yang kubonceng adalah lelaki sajak. tak boleh ada kata lelah. aku harus kuat, kawan!

dan kami sudah sampai di bawah pohon jati tempat lelaki sajak itu tinggal. tapi di sana sudah ada seseorang yang menunggu dengan cemas. seorang wanita cantik. cantik sekali. kecantikannya melebihi artis sinetron. wanita itu hitam manis, auranya luar biasa. tidak seperi aku. oh, aku tidak sanggup jika harus menceritakan perbandinganku dengan wanita cantik itu. aku pasti kalah saing. hehe...

satu hal saja, wanita cantik itu adalah mantan kekasih lelaki sajak. satu-satunya wanita yang pernah dibuatkan sajak olehnya. sebenarnya aku iri sekali. sangat iri. aku juga ingin bisa menjadi inspirasinya dalam membuat sajak. aku juga ingin dibuatkan sajak olehnya. tapi sudahlah kawan, kita tidak boleh berharap sesuatu pada makhluk. bisa gila nanti kalau si makhluk itu tidak mampu memenuhi harapan kita.

aku membantu lelaki sajak untuk duduk di atas rumput yang sama. rumput yang harum sekali. luar biasa harumnya. dan hari sudah malam sekarang. gelap. semakin gelap saja.

dan aku teringat sesuatu. kunang-kunang.

"ini." kataku sambil menyerahkan satu toples berisi lima belas ekor kunang-kunang.

"untuk apa?"

"menerangimu. dan juga wanita cantik itu." aku mencoba menjejalkan senyum di wajahku yang tidak dianugerahi kecantikan. "kau punya hati yang kapan saja boleh kau bebaskan. terserah. tapi, sesekali kunci logikamu. dengarkan perasaanmu." aku mengoceh seperti seorang nenek menasehati cucunya. sementara lelaki sajak kembali diam. dan wanita cantik juga diam, cantik sekali. bahkan ketika diam tanpa senyum.

"dalam gelap-sepi yang hening ini, kutinggalkan kau dengan wanita cantik mantan kekasihmu dan setoples kunang-kunang dariku."

lelaki sajak diam.

"pelajarilah caraku. jika sudah kau temukan jawaban, kau tahu dimana harus mencariku."

aku pergi dengan bekal senyum dari lelaki sajak. inilah yang kumaksud dengan mendadak semua yang sudah kembali utuh, pecah. lenyap memuai...

tamat.

begitulah, kawan. ini bukan tentang bagaimana menjadi orang baik. tapi bagaimana menghadapi orang baik.

ayolah..., ini fiksi eksperimenku. hanya rekaan, kawan! :)

Surat

pak pos tiba-tiba berdiri di depan pintu rumah. apa yang dibawanya? whoaa... sekeranjang bunga lili putih! kok bisa? kutanya pada beliau, "untuk siapa bunganya?". beliau menjawab "untukmu, dik."

kubaca, kertas kecil yang terselip di antara tangkainya, "dariku untukmu, sayang... :)" dan aku mendadak dijatuhi bahagia. aku mendapat kiriman sekeranjang lili putih yang ditaruh sembarang, tanpa dirangkai. tapi jauh di otakku, aku heran; kenapa pak pos menjadi pengantar bunga?

aku berlari ke ujung bukit. di sana, ada rumah pohon. aku naik ke atasnya. kulihat danau teratai dengan belasan angsa putih bersenang-senang di antaranya. aku menutup mata, kuciumi bau rumput, dan kumpulan sinar kunang-kunangnya mampu menembus kelopak mataku. aku dibelai angin. lalu kubuka mataku, dan aku masih disini. duduk di sudut kamarku sedang menggenggam erat batang gulali. lalu, aku tersenyum menghampiri jendela. o..., di luar masih hujan. baguslah.

Loemongga

dia tidak pernah mengejar apapun, siapapun. dia berdiri sendiri dan hanya mengikuti arah matanya, Tuhannya. dia berlari, menepi ke tempat-tempat yang dia maui. begitu seterusnya. bebas. tidak terikat. seperti angin. dan penulis itu berucap jangan pernah ceraikan angin dari awan. itu akan sangat menyakitkan.. :)

Tentang Dia (Saja)

11 Januari
Dia dan nya.
Masihkah? Ada ragu ketika itu. Tapi dia nekat saja. Lama... Lama sekali. Padahal hanya sekitar sepuluh menit. Dia matikan, lalu dihidupkan kembali. Dan akhirnya ada ucapan terimakasih disana.
Namun selalu saja nya memenuhi hari-hari dia dengan larangan yang berujung tangis. Dia tidak pernah merasa nyaman dengan nya, sekali pun begitu dia yakin nya adalah untuk dia.
Penantian haru duka itu diselesaikan dengan sebuah saling tatap. Tanpa arti. Sia-sia yang menyisakan halaman pelajaran bernilai. Tamat dengan cara yang sadis. Tanpa ada sedikit belas kasihan. Jahat.
Dia dan ia.
Dia, selalu senang jika ia ada didekat dia. Senang dengan cara yang tak mampu dijelaskan. Karena ia memang tidak pernah ada. Sehingga tidak perlu ada yang dirasa selain rasa senang.
Dia, untuk kain putih bernama kafan. Dan bukan kanvas. Pasti akan ada yang bisa menterjemah dia. Semoga. Amin.

Meja

sudah kubingkai
tertatih, belajar berjalan
telah tertinggal banyak hal
malam yang dihadapi dengan tangis tertahan
tahun-tahun yang melelahkan
terlepas
sudah kubingkai

sudah sembuh
kesembuhan yang dipaksakan
semua sudah pada tempatnya
ingin diambil kembali?
jangan mimpi!
jangan ganggu. aku galak.

jangan mendekat. aku berduri.
jangan akting. aku sutradara.
jangan memelas. aku tidak iba.
menjauhlah..

Berbalik?

sudah kubingkai
tertatih, belajar berjalan
telah tertinggal banyak hal
malam yang dihadapi dengan tangis tertahan
tahun-tahun yang melelahkan
terlepas
sudah kubingkai

sudah sembuh
kesembuhan yang dipaksakan
semua sudah pada tempatnya
ingin diambil kembali?
jangan mimpi!
jangan ganggu. aku galak.

jangan mendekat. aku berduri.
jangan akting. aku sutradara.
jangan memelas. aku tidak iba.
menjauhlah..

Segelas Air Mata

...





































tersenyumlah..

Bima Suka Sendiri

dua langit satu naungan.

darah. begitu kutemukan, bocah laki-laki itu sudah bersimbah darah. di wajahnya, di sekujur tubuhnya. aku takut. aku gemetaran melihatnya.

kudekati perlahan, kuraih tubuhnya. kuangkat kepalanya ke atas pangkuanku. kuperhatikan, beberapa bagian di wajahnya lebam. di kakinya ada luka menganga yang terus mengeluarkan darah berbau amis. bocah laki-laki itu begitu pucat. keringat dinginnya bisa kurasa. kudekap erat ia.

meleleh. aku menangis sesaat tersadar di sekitarku sama sekali tak ada orang. kota ini tak berpenghuni. sepi. hanya ada aku dan bocah laki-laki kecil yang kini nafasnya mulai tersengal-sengal. bibirku bergumam tak karuan, "hidup. masih hidup. hidup. masih hidup. hidup. hiduplah..." kurobek sebagian jilbabku. kuseka darah ditubuh mungilnya. ia sama sekali tidak bergerak. jantungnya bagaimana? nadinya di mana?

nafas itu terhenti. dingin. bocah laki-laki itu meninggal. dipangkuanku. dan aku menangis. sepi sekali di sini. kota ini, Kota Mati.

Negeri di Awan.

usianya dua puluh delapan tahun-bulan depan. namanya Bima. dia seorang lelaki keturunan Jawa. darah Jawanya mengalir dari ibunya. wanita anggun pemilik damai. Bima adalah seorang sastrawan dan juga seniman. meskipun mungkin sastrawan dan seniman itu memiliki konotasi makna yang hampir sama. dia bisa melakukan segala hal yang berkaitan dengan sastra dan seni. termasuk terbang. ya, terbang. Bima memiliki kemampuan terbang sejak usianya masih tujuh tahun. entah darimana dia bisa memiliki kemampuan seperti itu.

seingatnya. suatu saat, sepulang sekolah, Bima menemukan teman satu kelasnya, Ria, menangis di halaman belakang sekolah karena ikat rambutnya diambil paksa oleh Aryo, salah satu teman mereka yang terkenal nakal dan jahil. Bima yang mengetahui hal itu marah -entah karena apa. yang jelas, Ria selalu membuat Bima bahagia dan nyaman. meski hanya dengan melihatnya saja. jadi dia mungkin tidak rela melihat Ria menangis- dan merebut dengan paksa ikat rambut Ria dari tangannya. Aryo juga marah. dia mengejar Bima. tubuh Bima yang jauh lebih kecil dari Aryo hampir terkejar. namun tiba-tiba, ketika Bima merasa terdesak, tubuhnya melayang. terbang. begitu saja.

pertemuan.

matahari di Kota Mati mulai turun. senja. lalu bulan muncul dengan agak ragu. sepi. aku haus.aku masuk ke sebuah minimarket. tak ada siapa pun. aku mengambil sebotol air mineral. langsung kuteguk hingga habis. lalu aku melihat di meja kasir ada sebuah cermin. aku bergerak. kuambil cerminnya. aku ingin bercermin. wajahku. hitam, kotor. aku jelek. dan siapa itu? ada bayangan putih di cermin. ada sosok putih dibelakangku. aku takut. di sini gelap. aku kaku_membeku ditempatku.

"kau. siapa?" sosok itu bertanya.

"aku Sendiri." jawabku.

"Sendiri? apakah itu sebuah nama?"

"ya, itu namaku. Sendiri. kau?"

"aku Bima. sedang apa kau disini?"

"aku tersesat..." jawabku.

lalu sosok itu menghilang_terbang.

kematian itu begitu dekat.

kopi itu sudah dicampuri racun. dan Kota Mati semakin larut, gelap. atau teh? teh itu juga sudah dicampuri mantera hitam.

-ada saatnya untuk bicara. mengakui. lalu kemungkinannya adalah ditinggalkan. senyum itu, adakah mampu kau lihat air mataku? tidak! jelas tidak. tanyalah, apa aku sudah makan hari ini? kau dimana?-

aku pilih setengah gelas kopi, selanjutnya kuminum setengah gelas teh. aku rasa itu cukup adil. untukku, untuk kopi, dan untuk teh. itulah pilihan. jelas 'kan? maka, kematian itu bukanlah pilihan. apa pun, kematian itu akan menjadi milik. teralami. dan fase yang sekarang ini menjadi khatam. kematian adalah keadilan. keadilan bagi bumi. dan bukti bahwa Tuhan memang Maha Adil dalam segala aspek. entah kenapa aku berpikir begitu. yang jelas, aku menyayanginya. dia. yang entah siapa. dan aku tiba-tiba ingat bocah laki-laki kecil itu...

dandelion.

pagi itu Bima berjalan tangguh, seperti biasanya, dia hebat. pandai mengendalikan diri. entah berapa banyak wanita di Negeri di Awan yang menjatuhcintainya. tapi dia takut. dosa. dia hanya inginkan Ria. gadis kecil itu. gadis kecil yang pasti kini sudah beranjak dewasa, ber-reinkarnasi menjadi wanita cantik nan anggun.

Bima tiba di tengah Kota Mati. kota kecil yang tak berpenghuni. kota yang berantakan. kota yang seminggu lalu dibantai habis oleh Kaum Oak dari Negeri di Api. menyisakan dingin dan darah.

dilihatnya dandelion melayang ringan tepat di depan matanya. 'siapa yang mengirim ini?' pikirnya. dan ada suara menjawab di belakangnya, "aku" jawabku asal.

"kau?"

"iya. aku yang mengirimnya. aku berharap dandelion ini bisa sampai ke kotaku. dan mengirimkan bantuan untukku."

"bantuan? untuk apa?"

"ini dimana? aku tidak tahu! aku sendiri!"

"aku tahu kau Sendiri." jawab Bima dingin.

"bukan Sendiri, tapi sendiri. ah, sudahlah..."

kereta kencana.

"kau mau kemana?" Bima bertanya sambil berjalan santai di belakangku.

"tidak tahu."

"kau kotor. mandilah."

"apa? maksudmu?"

"aku menyuruhmu mandi."

"aku tidak suka mandi. aku malas."

"aku menyuruhmu mandi!"

"kau kenapa? kenapa menyuruhku mandi?"

"tubuhmu bau amis. darah."

aku heran. memang iya begitu? penciumannya tajam sekali.

"iya. bau amis darah bocah laki-laki itu. dia..." aku menangis.

"kau akan diburu Kaum Oak jika tubuhmu berbau darah."

"kenapa?"

"mereka haus darah. mereka juga pembunuh berdarah dingin. mereka inginkan darah. untuk hidup. dan Kota Mati...""kenapa dengan Kota Mati?"

"ya. seluruh penduduknya dibantai habis. tak bersisa."

"tapi di kota ini tak ada siapa pun."

"kecuali bocah laki-laki itu. karena mayat seluruh penduduk dibawa Kaum Oak ke negeri mereka. Negeri di Api. untuk diteliti."

"lalu kenapa bocah itu masih di sana? tak ikut dibawa untuk... untuk apa tadi? diteliti?"

"kaum Oak bukanlah manusia. mereka itu arwah. mereka memiliki wujud, tapi tidak memiliki raga. mereka meneliti kami. kita. manusia. mereka ingin seperti kita. bisa merasa, menyentuh..."

"oh, sudahlah. kepalaku pusing. aku tidak mengerti."

"mandilah."

"dimana?"

"rumahku."

"kau? rumah?"

Bima mengajakku menuju sebuah gang kecil di ujung jalan. di sana ada sebuah kereta. berkilauan. ditarik oleh tujuh ekor kuda bertanduk perak. ketujuh kuda itu memiliki sayap yang juga berwarna perak. terkembang. tubuh kuda-kuda itu tinggi, hitam. legam. kuat. dan belum selesai aku mengagumi kereta kencana itu, Bima mendorongku untuk masuk ke dalamnya.

rumah berhati.

Bima menyebutnya begitu.

lalu dia menunjukkanku sebuah kamar mandi di dalamnya.

"mandilah."

"iya aku tahu. kau sudah mengulangi kalimat itu banyak sekali hari ini. aku dengar. aku dengar. aku dengar." kataku kesal.

"ganti pakaianmu."

"tidak punya."

dia lalu masuk ke dalam sebuah ruangan. dan keluar dengan membawa pakaian ganti untukku. pakaian yang luar biasa wangi.

"ini. pakailah."

"kau, punya pakaian perempuan? apakah kau ini sebenarnya perempuan?"

"hey, ini milik ibuku."

"oh... kalau begitu aku tidak mau pakai."

"kenapa?"

"aku tidak pantas. aku malu."

"kau pantas."

"aku tidak pantas."

"kau pantas."

"aku tidak pantas."

"jangan keras kepala! kau pantas. pakailah. ganti juga jilbabmu."

"mana beliau? aku akan pakai, tapi aku harus minta izin dulu pada beliau."

"ibuku adalah wanita pemilik damai. mengertilah. pakai saja. dan jangan banyak bertanya. cepat mandi. aku tunggu disini."

makan malam romantis. benarkah?

"aku lapar." ucapku sesaat setelah selesai mandi.

"aku juga."

"jadi?"

"masaklah."

"apa?"

"iya, masaklah."

"tidak mau."

"kenapa?"

"tidak bisa?"

Bima menatapku.

"kenapa? belum pernah dengar ada perempuan tidak bisa memasak?" tanyaku kesal.

dia hanya tersenyum.

"oh, baiklah. di mana dapurnya?"

dia kembali tersenyum sambil menunjuk ke arah dapur. aku memasak. untukku. untuk dia juga. untuk kami.

tidak lama. hanya butuh beberapa menit saja, nasi, sayur, dan lauknya sudah tersaji di ruang makan.

kami pun makan bersama. berhadapan. saling menatap. memandang. dan aku kesal.

"kenapa menatapku begitu?"

"tidak boleh?"

"ya. kau tidak boleh menatapku begitu."

"kenapa?"

"karena kau laki-laki."

"lalu?"

"kau orang lain. dan asing."

"maafkan aku. lalu, kenapa kau juga menatapku seperti itu?"

"tidak boleh?"

"ya. kau juga tidak boleh menatapku seperti itu."

"kenapa?"

"kau sudah tahu jawabannya."

"ya. ya. ya. baik. maafkan aku." lalu hening sesaat. "di sini, di kota ini, apa hanya ada kita saja? kita berdua saja, maksudnya?"

"ya."

dan aku mendadak takut.

"jangan takut. ada aku. ada Tuhan."

lalu aku menjadi tenang.

kekasih

"pergilah."

"tidak mau."

"pergilah."

"aku tidak kenal kota ini. kumohon aku ingin bersamamu saja disini."

"kau akan terbunuh. mati."

"aku tidak takut. seperti katamu. ada kau. ada Tuhan."

"kumohon pergilah..."

"tidak!"

"keras kepala!"

suasana kota menjadi sangat kaku. lebih dingin dari biasanya. gelap sekali. bulan tidak muncul. tak ada bintang. satu pun. lampu-lampu padam.

tak ada listrik.

"jadilah kekasihku." tiba-tiba Bima memintaku untuk sesuatu yang sangat aneh. "jadilah kekasihku." Bima mengulangi kalimatnya. "jadilah kekasihku, maka Gerbang Tangga Menuju Langit akan terbuka."

oh, apa-apaan ini? mimpikah? aku bisa gila!

"hey, kau dengar aku? kau melamun?"

"oh, apa? kau bilang apa tadi? aku tidak dengar. maaf..." jawabku ragu agak sedikit tergagap.

"jadilah kekasihku."

aku diam.

diam.

tidak mengerti.

"baik. diam artinya iya. sekarang ikut aku."

Bima menggandeng tanganku. agak aneh rasanya. dosa. ini jelas dosa. tapi aku tidak mengerti dan menurut saja. kami mengendap-endap dalam gelap. dan aku merasa aku sedang diculik. dan udara di Kota Mati sangat dingin. mulut kami sampai mengeluarkan uap hangat ketika berbicara. oh, suhu mungkin minus lima belas derajat saat ini. aku dan Bima sama-sama mengenakan mantel tebal. tapi masih tetap merasa dingin.

kami masuk ke dalam sebuah hutan di tengah-tengah Kota Mati. aku merasa sedang diawasi. sesekali aku melihat banyak bayangan hitam berseliweran disekitar kami. Tuhan, aku takut. apa-apaan ini? aku ingin pulang...

tangga menuju langit.

"bersiaplah."

aku diam.

"kumohon kau harus menjawab. gerbang ini akan terbuka jika 'mendengar' jawaban."

aku masih diam.

"kau, jadilah kekasihku."

aku diam.

masih diam.

terus diam.

diam.

dan, "iya" akhirnya aku menjawab.

benar. sebuah gerbang yang sebelumnya kasat mata kini mulai nampak. kokoh. tinggi terbuat dari emas. berkilauan. ada banyak sulur-sulur bunga mawar disekitarnya. indah. tapi berduri.

gerbang itu terbuka sempurna. di baliknya ada sebuah pohon raksasa yang sudah tua. tapi tetap kokoh. daunnya menjuntai-juntai hampir mengenai tanah. dan seketika saja pohon itu lenyap berganti menjadi sebuah tangga pualam. tinggi. menembus awan. menuju langit...

perjalanan.

'bisakah?' itu kata pertama yang terlintas di pikiranku.

"bisa. kita harus bisa." kata Bima seakan dia membaca bisa pikiranku. "Kota Mati telah mati. sekarang dikuasai Kaum Oak. tak akan ada kehidupan lagi di sana. seperti kota-kota sebelumnya di Negeri di Awan. khatam. jika kita tetap ingin hidup, kita harus berpindah."

"Bima, jujur, aku pusing dan sama sekali tidak mengerti. sebenarnya aku ini sedang mencari seseorang. tapi aku tidak mengerti kenapa aku bisa terjebak di sini dengan situasi seperti ini..."

"siapa yang kau cari?"

"Terpuji."

"Terpuji?"

"ya. Tuan Terpuji."

"siapa dia?"

"beliau adalah seorang presiden di planetku. eh, di negaraku. oh, entahlah. yang jelas, di tempat kami dia adalah seorang presiden."

"lalu, untuk apa kau mencarinya?"

"karena dia membenciku."

"kenapa?"

aku tersenyum. mudah sekali melakukannya. senyum.

"karena Tuhan ingin aku bertemu denganmu. mungkin."

"kau ini bicara apa? jawabanmu klise."

"biar." aku tersenyum lagi. "ceritalah."

"cerita? tentang apa?"

"Ria."

"Ria?"

"kau tahu Ria?"

"ya?"

"darimana kau bisa tahu?"

"ceritalah. kau menyukai perempuan itu?"

"ya."

aku menangis.

kapas...

"kau seperti kapas."

"kenapa?"

"kita sudah sampai di langit."

"mana langit?"

"inilah langit..." luas. tak berujung. penuh dengan... awan! ada cahaya berlilauan, hasil bias matahari dengan air hujan. menyenangkan. damai. aku kagum, tak kuasa melihat indahnya ciptaan Tuhan.

"kau seperti kapas." Bima mengulangi.

"Bima..."

"ya?"

"siapa nama lengkapmu?"

"Bima Sakti."

"hihi... seperti nama sebuah galaksi."

Bima tersenyum, dan kembali mengulang kalimatnya, "kau seperti kapas."

"kau ini bicara apa?"

"aku ini penyair. itu bahasaku, menginderamu."

"aku seperti kapas? apa-apaan kau ini?"

"kau..."

"aku kenapa? seperti kapas?"

"apa cita-citamu?"

"menjadi seorang penulis."

"kenapa?"

"aku suka menulis. maka aku ingin jadi penulis."

"kenapa?"

"tidak ada alasan pasti. hanya itu saja alasanku."

"lalu?"

"sekarang sudah tidak lagi."

"kenapa?"

"kau banyak tanya."

"kenapa?"

"oh, baiklah. bagiku menikah itu satu kali."

Bima bingung.

"aku tidak ingin bercerai." aku melanjutkan.

"apa keterkaitannya antara tidak ingin bercerai dengan cita-citamu menjadi penulis dan tidak lagi ingin manjadi penulis?"

"di tempatku, para penulis perempuan sangat mengagungkan kebebasan berkarya. tidak suka siapa pun menolak apa yang dianggapnya kebebasan. dan akibatnya mereka lupa pada hakikat. hingga kebanyakan dari mereka bercerai dari suami yang di- dan men-cintainya. aku tidak ingin seperti itu. aku takut."

"menikahlah dengan penyair."

"tidak mau."

"kenapa?"

"penyair punya banyak istri."

Bima tertawa.

aku diam. kesal. 'ya, Bima. sebenarnya aku mau sekali. jika penyair itu kau...' batinku.

"tapi aku tidak seperti itu."

"iya, aku tahu."

"maksudmu?

"ya, begitu itu."

terbang

"kau. apakah kau ingin terbang?"

"ya. jika bisa."

"aku bisa."

"terbanglah."

"denganmu."

"tidak mau."

"kenapa?"

"kau bukan mahramku."

"menikahlah denganku."

"Ria?"

Bima tersenyum.

"sudahlah. terbang saja sendiri."

"aku ingin terbang dengan Sendiri. bukan terbang sendiri."

untuk pertama kalinya aku. terbang. rasanya tak terdefinisi.

Tuhan

Tuhan itu ada. kau buktinya. lihatlah dirimu di cermin. nyata. kau ada. maka Tuhan jelas adanya. nyata.

terbakar

"Bima, aku akan mati."

"aku penyair."

"aku penulis. dan itu dulu. sekarang aku senang menyebut diriku sebagai penutur."

"aku penyair."

"Bima, aku akan mati."

"jangan..."

"ini bukan tempatku, Bima."

"ini juga bukan tempatku."

"sungguh? mengapa?"

"karena aku adalah galaksi itu. aku hanya bayangan putih. jelmaan Galaksi Bima Sakti. rumahmu. tempat kau pulang."

"kenapa kau menjelma?"

"aku ingin menemuimu."

"kenapa aku? dan bukan Ria?"

"Ria tak pernah sendiri dan tersesat."

"menurutmu aku sendiri dan tersesat?"

"ya."

"apa buktinya?"

"namamu. dan ucapanmu di minimarket kala itu."

"kau..."

"Sendiri, waktuku sudah habis."

"pergilah."

"ya. aku pergi."

"Bima, mungkin sebentar lagi aku mati."

"ya. aku mengerti."

dongeng

kau menjadi rumahku. memang seharusnya begitu.

Bima Sakti melebur. debunya pecah menjadi kepingan. menyusun sebuah galaksi yang utuh. Bima Sakti.

aku. mati. Sendiri.

khatam. peluk aku.

Alhamdulillah...sungguh. aku tidak mau berteman dengan jin. memangnya hanya jin yang bisa merangkai kata-kata? katanya penyair itu teman akrabnya jin? memangnya iya? semoga aku, kau, dan mereka -kita semua- bukan. amin. Allah Maha Bijaksana. selesai.

hanya cerita, kawan! tidak merefleksikan apa pun. semangat :)


Prabu Aeng

Sang Putra Langit.

kuperkenalkan; Prabu Ulun Sadega. dia adalah seorang Putra Langit. tak pernah kutahu bahwa dia adalah keturunan para Dewa penjaga bumi sebelumnya. dan jujur (berat kukatakan) sebenarnya dia adalah alter ego-ku sendiri.

awalnya aku hanya merasa dia adalah alter ego-ku. sehari-hari kupanggil dia dengan 'hey' atau 'eh, kamu'. begitu saja. normal dan wajar.

dan setelah kutahu bahwa dia adalah Putra Langit, uh, setengah mati aku menjaga jiwaku agar sampai tidak gila atau mungkin kena guna-guna, teluh atau apapun semacamnya. maksudku, bisa saja alter ego-ku itu secara tidak sengaja dan tanpa dia sadari telah mempengaruhi jiwaku, atau diam-diam energi gaibnya tidak sengaja melukai aku. ah, entahlah. tapi cukup, cerita kali ini tidak akan mengisahkan tentang aku. tapi tentang alter ego-ku.

Kayu Manis.

Pria jangkung_kurus itu bernama Kayu Manis. dia seorang pencari kayu bakar. kulitnya hitam. namun wajahnya begitu manis. auranya adalah aura lelaki kayu. dingin tampaknya. namun penyayang luar biasa. dan luar biasa pula keras kepalanya.


mereka berdua.

adalah sahabat. kadang aku cemas jika hey atau eh, kamu tidak menemaniku barang satu menit. pernah suatu hari aku tiba-tiba keluar_masuk toilet. tahu untuk apa? menangis. ya, hanya untuk menangis.

tidak tahu, hari itu aku begitu melankolis. maklum, aku sedang merindui seseorang, Kekasih. Kekasih adalah kekasihku. dan dia memang menyebalkan, tak pernah mengabari aku. aku takut kehilangan dia. padahal, aku tak pernah memilikinya. sementara hey atau eh, kamu juga ikut-ikutan tidak menemaniku. padahal biasanya, hey atau eh, kamu selalu ada di sekitarku. duduk di sudut kamarku, berdiri di ujung jalan rumahku, berjalan di sampingku, menatapku lekat-lekat dari kursi seberang (jika kami sedang ada dalam satu ruangan yang sama, misalnya ketika kami berada di ruang kerjaku). sungguh, hey atau eh, kamu tak pernah meninggalkan aku barang sedetik. tapi hari itu dia menghilang...

jingga.

sore itu aku melihat matahari begitu 'cantik'. kukatakan begitu karena aku agak kurang suka matahari. panas. alasannya seperti biasa, sederhana, aku begitu suka hujan. selalu membuatku nyaman.

hey atau eh, kamu, kamu dimana? aku kesepian...

aku mencari kebeberapa tempat. tapi dia tidak kutemui. hingga di ujung jalan itu aku melihatnya. sedang duduk berdua bersama Kayu Manis. dua sahabat itu sedang apa? agak aneh aku melihatnya.

aku menghampiri mereka.

"kalian sedang apa?" tanyaku.

Kayu Manis yang sejak tadi menundukkan wajahnya, seketika melihat ke arahku, dan... ya Allah... apa itu? kenapa? ada apa dengan wajahnya? warna kulit wajahnya sangat pucat. sangat. matanya merah menyala. mengerikan. dan aku seketika itu mundur beberapa langkah, bergerak cepat ke samping alter ego-ku, hey atau eh, kamu.

bertukar 1.

haruskah? tidak boleh! jangan alter ego-ku. aku menyayanginya. hanya dia temanku.

haruskah? kenapa yang harus adalah dia?

257 SM

ketika itu bumi sedang dirundung perang saudara. antara Kerajaan Ing Lintang dengan Kerajaan Kayu Aeng. dua kerajaan itu terlibat sengketa atas wilayah kekuasaan. Kerajaan Ing Lintang yang sebenarnya memiliki istana di bintang mengaku bahwa mereka memiliki wilayah kekuasaan juga di bumi. sementara Kerajaan Kayu Aeng yang sejatinya adalah penguasa bumi, tidak terima. alasannya adalah pihak Kerajaan Ing Lintang hampir membumihanguskan beberapa wilayah yang berpenduduk, dengan siasat serangan fajar. sadis dan tanpa ampun.

27 Oktober 2010

aku sedang menunggu bus di halte dekat Stadion Persib. tiba-tiba hey atau eh, kamu datang. aku melihatnya berdiri disampingku. aku diam saja, wajahku kubiarkan cemberut. aku kesal padanya.

"Sayang..." hey atau eh, kamu menyapaku ragu-ragu. sementara aku berjalan menjauh. dia mengikutiku seperti biasanya.

"Sayang, aku minta maaf. temanku Kayu Manis itu sedang mengalami musibah."

"ya, aku bisa lihat dari wajahnya kemarin itu." kataku masih kesal.

"sungguh, Sayang. Kayu Manis sedang butuh aku sekarang."

"lalu kau pikir aku tidak membutuhkanmu? menurutmu baik tiba-tiba menghilang dan sama sekali tanpa kabar? kau terlalu!" aku semakin gusar. dan orang-orang di sekeliling kami bingung melihatku bertingkah aneh. bergumam sendirian, tidak jelas. sudah seperti orang gila.

"Sayang, cobalah lebih peka. sedikit lebih mengerti..."

"oh, jadi kau pikir aku tidak peka? kau pikir aku tidak pengertian? oh, ya, memang! aku memang egois, kasar, ceroboh, bodoh, keras kepala, dan ya tentu saja aku jorok, semuanya! semuanya!"

"Sayang, maksudku..."

"logikamu itu! jangan jejali aku dengan logikamu! aku tidak cukup pintar untuk memahaminya. jelas? aku rasa cukup jelas."

lalu aku naik ke dalam bus, pulang. meninggalkan alter ego-ku di halte, sendirian.

maaf.

dia sudah berdiri di sana dengan gaya 'cool'-nya. uh, ganteng sekali! tapi tetap saja dia menyebalkan.aku berjalan di depannya. tak acuh padanya, sama sekali.

"Sayang..." dia menarik tanganku. aku hanya menatapnya. "Sayang, maafkan aku."

"tolong, maafkanlah dia, Sayang. dia tidak salah apapun. dia orang suci. aku yang salah." Kayu Manis tiba-tiba bicara. ternyata aku tidak sadar bahwa Kayu Manis sudah duduk sejak tadi didekat hey atau eh, kamu. wajahnya masih pucat. sudah seperti mayat_hidup. dan matanya semakin merah_menyala. Kayu Manis sudah seperti monster. aku takut. aku kesal. tapi aku kasihan. "ya. aku maafkan..." akhirnya aku menyerah. aku terlalu sayang pada alter ego-ku itu. tapi aku langsung pergi meninggalkan mereka berdua.

bertukar 2.

malam itu hujan deras. angin dan dingin saling berlomba untuk menunjukkan kehebatan mereka pada manusia. beberapa kali terlihat kilat lalu disusul suara petir.

dia memanggilku.

alter ego-ku sudah ada di luar kamarku. dan memanggilku keluar, "Sayang, aku mau bicara."

dengan agak malas aku keluar kamar, "kenapa tak langsung masuk saja?"

"khawatir jilbabmu."

"kau tahu aku tak pernah melepasnya."

"ya, aku tahu."

"ada apa?"

"aku pamit."

aku terkejut, dan sangat marah.

"kenapa sih? kau selalu saja seenaknya?"

"Sayang, ini penting."

"apalagi?"

"Kayu Manis akan mati jika aku tidak menolongnya malam ini."

"kenapa sahabatmu itu?"

"aku Prabu Ulun Sadega."

"ya, lalu?"

"kau tahu aku siapa?"

"ya, lalu?"

"kau tahu peristiwa itu 'kan?"

"ya, lalu?"

"kau ini kenapa, Sayang? jawabanmu hanya 'ya, lalu. ya, lalu. ya, lalu'?"

"ya, lalu harus kujawab apa? yang aku tahu kau alter ego-ku. itu saja. titik!"

"peristiwa itu akan terulang lagi."

"apa?"

"ya, Sayang. peristiwa itu akan terulang lagi. dan aku harus membantunya."

aku duduk di lantai begitu saja. menangis.

lalu alter ego-ku ikut duduk di depanku. menarik ke dua telapak tanganku yang menutupi wajahku. dia menyeka air mataku."Sayang.., aku akan baik-baik saja." lalu alter ego-ku pergi meninggalkan aku.

ksatria

aku ksatria.

pertarungan

aku harus bangun. sejak pukul empat pagi tadi aku belum juga beranjak dari tempat tidurku, -kecuali untuk shalat subuh- dan masih berbaring malas di balik selimutku. lalu aku bergerak membuka gorden kamarku.

hari sudah agak siang. tapi di luar sana langit begitu mendung. sesekali terlihat kilat disusul dengan petir yang luar biasa dahsyat. beberapa pohon tumbang di ujung jalan rumahku. hujan mulai turun, dan langsung deras mengguyur Bandung. aku... takut.

beberapa hari ini aku merasa diikuti. sering aku melihat bayangan hitam berkelebat di sekitarku, tidak hanya ketika aku sendiri, tapi juga ketika aku sedang dalam keramaian. dan kepalaku jadi sering sakit, pusing. aku demam.

aku melihat jam di ponselku. pukul 10.13. tiba-tiba ruang sempit di otakku terbuka_kembali. aku ingat kamu, Kekasih. dimana kamu Kekasih? kau tiba-tiba menghilang. aku lupa, kau tidak pernah menjadi milikku.

aku kembali berbaring. memutar music player diponselku. menutupi seluruh tubuhku dengan selimut. lalu meleleh_menangis. begitu saja.


sementara itu, di bagian lain Bandung.

tempat itu tidak tampak pada peta kota bandung. sengaja. tempat itu bernama Luh Panawang. tempat dimana dulu, pernah berdiri dengan megah dan berjaya sebuah kerajaan. Kerajaan Kayu Aeng. masih ingat bukan?

tempat itu kini hanya berupa tanah luas dengan dipenuhi rumput gajah_tinggi dan beberapa semak ilalang di beberapa bagiannya. aku melihat alter ego-ku di sana. dia duduk bersila. tangannya disilang didepan dadanya. matanya terpejam. apa yang sedang dilakukannya?

aku memanggil-manggil namanya. tapi dia sama sekali tidak mendengarku.

tak jauh dari alter ego-ku, aku melihat sosok tinggi besar dengan pakaian lengkap khas raja-raja Jawa zaman dulu. sosok itu memegang sebilah keris yang di ujungnya kudapati api_hitam yang menyala-nyala. api itu menyambar-nyambar ke arah alter ego-ku. sementara Kayu Manis berdiri gelisah di dalam sebuah kerangkeng kayu. dia dihujani jarum-jarum tajam, yang jika kuperhatikan jarum-jarum itu berkilauan_panas, aku tebak itu semacam pecahan komet. entahlah.

lalu, bayangan hitam itu kembali muncul. tapi kini semakin jelas. berdiri, oh tidak. tepatnya melayang di atas permukaan tanah. mengerikan! wajahnya hitam. matanya hitam. giginya, dan lagi-lagi bukan gigi, tapi taring-taring tajam menyeringai sinis dan sadis ke arahku. kakinya tidak terlihat, tertutupi jubahnya. sementara kukunya lebih mengerikan. kukunya tercipta dari besi yang tajam seperti pisau. kemudian, bayangan itu menarikku ke dalam pusaran angin yang begitu gelap dan dalam.

ya Allah... tubuhku kebas. aku mulai kehilangan penglihatanku. tapi aku masih bisa menangkap ada banyak sinar-sinar merah seperti api. aku mendengar bunyi-bunyi yang bergemuruh dan disusul banyak sekali ledakan. dan aku juga mendengar suara teriakkan seorang lelaki. aku hafal suaranya, itu suara Kayu Manis. ada apa dengan Kayu Manis? bagaimana dengan alter ego-ku? eh, kamu....!!!

ya Allah, tolong...

Kekasih, aku menyayangimu. kau belum pernah bertanya padaku; apa aku takut kehilanganmu? kupastikan aku akan menjawab; ya. tapi kau hanya makhluk. dan sungguh aku tahu, Allah Maha Baik. Kekasih kau adalah kekasihku, rumahku (semoga). percayalah, hey, kamu adalah alter ego-ku. hanya alter ego-ku saja.

oh, seharusnya itu kukatakan sejak kau masih bersamaku, Kekasih. sekarang kau dimana? aku merinduimu? terasakah?

dan kini pusaran anginnya semakin menarikku ke dalamnya. Kekasih, aku ingin bertelepati denganmu. dengarlah. bantu aku. aku membutuhkanmu. panggil jiwanya untukku, ya Allah. hubungkan kami. meskipun aku dan Kekasih bukanlah sepasang kekasih, aku yakin bahwa takdir kami adalah sama. kami berada pada satu karma yang sama. duh Gusti Allah, kula nyuwun lupita bilahi kabeh. guna duduk pan sirna.

aku pasrah...

lalu aku merasakan ada sesuatu menarik tanganku. hangat. sesuatu itu adalah sebuah sinar putih yang melilit di tanganku dengan sangat halus dan hati-hati. lalu ada banyak kilauan cahanya berwarna-warni meliputi tubuhku. rasa sakitnya tiba-tiba menghilang. aku merasa nyaman. dan aku tidak ingat apapun lagi.

cemara berakar

aku membuka mataku. dan Kekasih! dia ada di kamarku. tapi, sedang apa?

aku langsung panik dan meraba kepalaku.

"jilbabmu masih sempurna." Kekasih tersenyum padaku.

"ya. ya. ya." kataku seketika sadar bahwa aku memang masih mengenakan jilbabku. lalu aku mengedarkan pandanganku sekeliling kamar.

"kau mencari hey, kamu?"

aku kaget, Kekasih tahu tentang hey, kamu. "eh, iya." aku menjawab sambil memperbaiki posisiku, agak aneh ada di depan Kekasih dengan posisi tertidur. lalu aku duduk.

"tadi dia pamit. dia titip salam untukmu."

aku diam. menangis.

"lebih dari yang kau tahu. alter ego-mu sangat menyayangimu. tapi jika dia selalu ada di sampingmu, maka kau akan terluka. percayalah dia baik-baik saja. dia menitipkan ini padaku agar memberikannya padamu. dan sahabanya, Kayu Manis, juga baik-baik saja. tadi pun dia menjengukmu."

kemudian Kekasih menyerahkan sebuah kalung berliontin... udara! yang benar saja!! tapi memang benar, liontinnya bergerak-gerak teratur hampir membentuk lingkaran. kusentuh, dan menembus. rasanya dingin. dingin sekali, tapi damai.

"sudah selesai belum menganguminya?"

aku langsung melihat ke arah Kekasih. aku hampir lupa Kekasih ada bersamamku sekarang. "eh..."

"kau milikku sekarang. kau kekasihku sekarang. telepatimu berhasil terhubung denganku. karena Allah mengizinkannya. kita berada dalam satu karma sekarang. saling menjaga ya, Sayang."

"eng..." aku bingung mendengar laki-laki bernama Kekasih itu berbicara begitu banyak. dan tidak ada satu pun yang kupahami. kenapa tidak buat kalimat sederhana saja? atau aku saja yang menyederhanakannya.

"jadilah kekasihku, Kekasih..."

"ya. sekarang aku kekasihmu, Sayang."

oh, ya Allah, apa-apaan ini? aku jadi merasa tidak suci lagi. merasa tercemari oleh cinta makhluk yang semu. tapi aku sekarang punya kekasih. dia benar-benar jadi kekasihku. dan aku hanya tersenyum melihat lingkaran udara yang berputar-putar pada kalung pemberian alter ego-ku. aku tidak percaya.

"bagaimana keadaanmu?"

"oh, alhamdulillah aku baik-baik saja."

"kalau begitu ikutlah denganku."

"kemana?"

"ikut saja dulu."

akhirnya aku menuruti keinginannya.

aku berjalan disamping Kekasih. oh, menyenangkan sekali. ya, meskipun aku masih begitu kehilangan alter ego-ku.

kami sampai di sebuah padang rumput hijau_terbuka. luas sekali. tak ada apapun. hanya rumput dan wanginya. udaranya segar, begitu bersih.

Kekasih memintaku menunggu beberapa saat. lalu dia kembali dengan membawa sesuatu. tahukah? dia membawa sebatang pohon cemara yang dikerdilkan. ukurannya hanya sekitar dua puluh centimeter. cemara itu ditanam dalam sebuah pot kecil_bening dari kaca, aku bisa melihat dengan jelas akar-akar serabutnya menempel pada dinding pot kacanya. cemara berakar itu dibungkus dalam plastik bening dengan motif balon gelembung sabun berwarna hijau. di bagian atas plastik itu dibiarkan terbuka, namun di ke dua sisi ujungnya diikat dengan pita yang juga berwarna hijau.

"untukmu."

aku agak ragu. baru kali ini ada seorang laki-laki memberiku... apa ini? bukankah seharusnya bunga mawar? atau krisan? atau lili? tapi Kekasih memberiku tanaman. cemara berakar.

"terimakasih." lalu aku mencium wangi cemara berakar itu melalui bagian atas plastik pembungkusnya yang sengaja dibuat terbuka. wangi. lebih wangi dari bunga potong.

"bagaimana?"

"aku suka :)"

namanya hey atau eh, kamu adalah alter egoku.namanya Kekasih adalah kekasihku; sekarang, besok, dan seterusnya.namaku Sayang. dan bukan lagi Sendiri.

selesai.

sungguh, aku hanya berpikir sederhana. bahwa hidup adalah sebab akibat. menjaga adalah hal sempurna. berbuatlah sesukaku. maka bersiaplah kau pun begitu. atau berbuatlah sesukaku, lalu kau tetap kukuh menjaga. maka bersiaplah hey aku, jika Allah akan membuangku darimu. dan percayalah aku tidak akan pernah siap untuk itu. maka, kita saling menjaga. aku sayang kamu :)

09112010_14.36, dalam hujan.

lalu, entah jangan

lalu, buatmu aku ini siapa?

sudah pernah menjadi rumput alas jati-kah? itu melelahkan, kuberitahu kau.

lalu, buatmu apa setelah perjanjain suci-sejati dengan batinmu itu?

karena buatku itu menjadikan aku hanya berada diluarmu saja.

salahku. hanya salahku yang seharusnya tidak melakukan yang tidak seharusnya.

lalu, aku ini menjadi apa? kembali menjadi rumput alas jati? ditanganmu?

aku tidak mau.

jangan hanya dinikmati, karena aku bukan materi.

jangan hanya dibohongi, karena aku hanya udara.

aku benci kamu!

Prabu Pergi

Di dini ini;

Ksatria: Prabu...

Prabu: ya, kenapa?

Ksatria: ...

Prabu: menangis lagi? huh, cengeng..!!

Ksatria: pinjami aku paru-paru...

Prabu: sekarang?

Ksatria: iya.

Prabu: ambillah...

Ksatria: :)

Prabu: senyum?

Ksatria: kenapa? mautkan?

Prabu: senyumanmu?

Ksatria: jelas!

Prabu: hahaa..., dasar bocah!

Ksatria: Prabu...

Prabu: ya, kenapa?

Ksatria: aku sedih...

Prabu: jangan menangis. aku janji kita makan es krim hari ini :)

Ksatria: es krim? aku sudah tidak minat.

Prabu: kenapa?

Ksatria: bosan.

Prabu: kau kenapa, Ksatria?

Ksatria: aku stres. aku tertekan. aku tertahan.

Prabu: :)

Ksatria: aku bosan. aku takut.

Prabu: :)

Ksatria: aku ingin naik gunung.

Prabu: kutemani :)

Ksatria: aku ingin teriak di dekat rel saat kereta api lewat.

Prabu: kudengar teriakanmu :)

Ksatria: aku ingin meniup balon gelembung sabun.

Prabu: aku ikut :)

Ksatria: aku ingin tidur di hamparan rumput hijau

Prabu: kutunggu sampai kau terjaga :)

Ksatria: aku ingin bermain dengan kunang-kunang.

Prabu: biar aku yang ambil gambarmu :)

Ksatria: aku mau menangis sekarang...

Prabu: biar aku yang hapus air matamu. apapun, lakukanlah sesukamu. aku ada bersamamu. bawalah aku kemana pun kau mau :)

Ksatria: pergilah...

Prabu: boleh?

Kstaria: ya.

Prabu: :)

Ksatria: ayolah, tak ada perempuan dua puluh empat tahun yang masih punya alter ego. pergilah. carilah anak lain. yang butuh penjaga. yang kesepian, tak punya teman. aku sudah punya Awan, Semusimku :)

Prabu: sesekali aku akan mengunjungimu.

Ksatria: kapan pun kau mau :)

Prabu: jangan menangis lagi. berat buatku mendengar kau menangis. aku luka...

Ksatria: :)

untuk dua TS

dan hanya Allah yang Maha Bijaksana

aku ikhlas.

untuk setiap doamu dan nya dalam percakapan itu, aku amini.

sungguh, semakin kukenali astralmu, semakin aku tahu, semakin aku menjadi bukan siapa-siapa, tidak ada.

tidak disini, tidak sekarang, tidak dikehidupan ini, tapi kelak.

dan pada kelak itulah biar aku sendiri, atau bila harus berpasang, biar bersama ibu saja.

tidak apa-apa

seperti rih, maka aku hanya lalu,


Sayang, sadarkah kau dengan doa dalam catatanmu sendiri? kau berdoa agar kelak, kau dan tintani, bisa bersatu di akhirat? aku luka, sayang. betul, memang kau catat doamu sebelum ada aku. tapi tahukah? tak ada doa yang tak dikabul oleh Allah..

dan Prawira

pagi.

bocah lelaki sembilan tahun itu memandangiku.

prawira namanya. dia begitu berkabut. seperti senja yang mencoba melepas surya. redup. membuat sesak.

prawira namanya. dia duduk manis di samping rel kereta api.

dan prawira, hanya sekaleng kabut.

Rinai

empat puluh dua tahun. usiaku.

sekarang pukul empat lewat tiga puluh menit di dua puluh tiga desember.

aku mual.

masih sembab saja mataku. belum bisa aku tidur sejak kemarin malam. dan pagi ini aku sudah disibukkan untuk mengemasi barang-barangku. tepat jam sepuluh pagi nanti aku akan meninggalkan kotamu, Bayongbong, Garut.

aku masih mual. belum selesai aku menangis. tapi ini begitu membuatku tertekan. dan air mata ini tertahan begitu saja. aku kuat, seperti tahun yang sudah-sudah.

aku harus apa sekarang?

sayang, aku kesepian. begitu banyak orang di sekelilingku. tapi tanpamu, aku merasa sendirian. terdengar berlebihan. tapi itu betul.

sayang, satu per satu, lalu semua, pergi dariku. tahukah rasanya menyaksikan orang-orang yang kau cintai pergi meninggalkanmu?

bisakah kau lihat aku, sayang? kurasa diam dalam air mata sudah cukup menjawab.

bila malam telah mencapai puncaknya, aku begitu takut. seperti manusia serigala yang begitu dendam pada purnama. kau bukan nafasku, kau bukan hidupku, kau bukan segalanya bagiku. tapi kau adalah aku. aku merasa begitu. padahal aku selalu berkeyakinan aku hebat. tapi aku hanya perempuan. perempuan.

dulu, di dua puluh tiga desember, dua puluh tahun yang lalu, aku memintamu menikahiku. dan kau hanya diam. tidak tahu apa yang ada di kepalamu. dan untukmu, di dua puluh tahun ini, sesudahnya, kupastikan bahwa seumur hidupku aku tidak akan pernah menikah. meskipun terang-terangan keputusan itu telah membuat mama murka padaku. mama, wanita tua yang begitu mendambakan hidupku bahagia dengan lelaki pilihannya. yang mungkin barangkali jika aku menuruti kehendaknya, aku sudah berputera hari ini. ah, indahnya rencana mama untukku. aku tahu mama menyayangi aku melebihi perkiraanku. tapi bagiku, menikah itu satu kali. denganmu. dan jika tidak denganmu, maka pernikahan itu tidak akan pernah terjadi.

sayang, aku bosan. bosan sekali. begitu jenuh disini. aku harus pergi dari kotamu. jangan khawatir, sebelum aku pergi, aku akan mampir ke rumahmu sebentar. menemuimu. barangkali untuk yang terakhir. dan kupastikan, memang untuk yang terakhir.

disini.

aku sampai di rumahmu. lihat! tanah merah ini masih saja basah meskipun sudah bertahun-tahun kau tinggali. dan jahat sekali kamboja itu. tersenyum puas saat berhasil lepas dari tangkainya. segar-bugar, wangi. tidak adakah dia sedikit bersimpatik padaku?

sayang, aku merindukanmu. sungguh. betapa kehilangan ini tidak berkesudahan.

dan lihat, inilah bunga mawar terakhir untukmu. setelah hari ini, aku tak akan lagi kembali. ini, kuletakkan disini. di nisanmu.

aku. aku terdiam. menangis untuk sebuah alasan yang aku tidak mengerti.