Senin, 14 Maret 2011

Bima Suka Sendiri

dua langit satu naungan.

darah. begitu kutemukan, bocah laki-laki itu sudah bersimbah darah. di wajahnya, di sekujur tubuhnya. aku takut. aku gemetaran melihatnya.

kudekati perlahan, kuraih tubuhnya. kuangkat kepalanya ke atas pangkuanku. kuperhatikan, beberapa bagian di wajahnya lebam. di kakinya ada luka menganga yang terus mengeluarkan darah berbau amis. bocah laki-laki itu begitu pucat. keringat dinginnya bisa kurasa. kudekap erat ia.

meleleh. aku menangis sesaat tersadar di sekitarku sama sekali tak ada orang. kota ini tak berpenghuni. sepi. hanya ada aku dan bocah laki-laki kecil yang kini nafasnya mulai tersengal-sengal. bibirku bergumam tak karuan, "hidup. masih hidup. hidup. masih hidup. hidup. hiduplah..." kurobek sebagian jilbabku. kuseka darah ditubuh mungilnya. ia sama sekali tidak bergerak. jantungnya bagaimana? nadinya di mana?

nafas itu terhenti. dingin. bocah laki-laki itu meninggal. dipangkuanku. dan aku menangis. sepi sekali di sini. kota ini, Kota Mati.

Negeri di Awan.

usianya dua puluh delapan tahun-bulan depan. namanya Bima. dia seorang lelaki keturunan Jawa. darah Jawanya mengalir dari ibunya. wanita anggun pemilik damai. Bima adalah seorang sastrawan dan juga seniman. meskipun mungkin sastrawan dan seniman itu memiliki konotasi makna yang hampir sama. dia bisa melakukan segala hal yang berkaitan dengan sastra dan seni. termasuk terbang. ya, terbang. Bima memiliki kemampuan terbang sejak usianya masih tujuh tahun. entah darimana dia bisa memiliki kemampuan seperti itu.

seingatnya. suatu saat, sepulang sekolah, Bima menemukan teman satu kelasnya, Ria, menangis di halaman belakang sekolah karena ikat rambutnya diambil paksa oleh Aryo, salah satu teman mereka yang terkenal nakal dan jahil. Bima yang mengetahui hal itu marah -entah karena apa. yang jelas, Ria selalu membuat Bima bahagia dan nyaman. meski hanya dengan melihatnya saja. jadi dia mungkin tidak rela melihat Ria menangis- dan merebut dengan paksa ikat rambut Ria dari tangannya. Aryo juga marah. dia mengejar Bima. tubuh Bima yang jauh lebih kecil dari Aryo hampir terkejar. namun tiba-tiba, ketika Bima merasa terdesak, tubuhnya melayang. terbang. begitu saja.

pertemuan.

matahari di Kota Mati mulai turun. senja. lalu bulan muncul dengan agak ragu. sepi. aku haus.aku masuk ke sebuah minimarket. tak ada siapa pun. aku mengambil sebotol air mineral. langsung kuteguk hingga habis. lalu aku melihat di meja kasir ada sebuah cermin. aku bergerak. kuambil cerminnya. aku ingin bercermin. wajahku. hitam, kotor. aku jelek. dan siapa itu? ada bayangan putih di cermin. ada sosok putih dibelakangku. aku takut. di sini gelap. aku kaku_membeku ditempatku.

"kau. siapa?" sosok itu bertanya.

"aku Sendiri." jawabku.

"Sendiri? apakah itu sebuah nama?"

"ya, itu namaku. Sendiri. kau?"

"aku Bima. sedang apa kau disini?"

"aku tersesat..." jawabku.

lalu sosok itu menghilang_terbang.

kematian itu begitu dekat.

kopi itu sudah dicampuri racun. dan Kota Mati semakin larut, gelap. atau teh? teh itu juga sudah dicampuri mantera hitam.

-ada saatnya untuk bicara. mengakui. lalu kemungkinannya adalah ditinggalkan. senyum itu, adakah mampu kau lihat air mataku? tidak! jelas tidak. tanyalah, apa aku sudah makan hari ini? kau dimana?-

aku pilih setengah gelas kopi, selanjutnya kuminum setengah gelas teh. aku rasa itu cukup adil. untukku, untuk kopi, dan untuk teh. itulah pilihan. jelas 'kan? maka, kematian itu bukanlah pilihan. apa pun, kematian itu akan menjadi milik. teralami. dan fase yang sekarang ini menjadi khatam. kematian adalah keadilan. keadilan bagi bumi. dan bukti bahwa Tuhan memang Maha Adil dalam segala aspek. entah kenapa aku berpikir begitu. yang jelas, aku menyayanginya. dia. yang entah siapa. dan aku tiba-tiba ingat bocah laki-laki kecil itu...

dandelion.

pagi itu Bima berjalan tangguh, seperti biasanya, dia hebat. pandai mengendalikan diri. entah berapa banyak wanita di Negeri di Awan yang menjatuhcintainya. tapi dia takut. dosa. dia hanya inginkan Ria. gadis kecil itu. gadis kecil yang pasti kini sudah beranjak dewasa, ber-reinkarnasi menjadi wanita cantik nan anggun.

Bima tiba di tengah Kota Mati. kota kecil yang tak berpenghuni. kota yang berantakan. kota yang seminggu lalu dibantai habis oleh Kaum Oak dari Negeri di Api. menyisakan dingin dan darah.

dilihatnya dandelion melayang ringan tepat di depan matanya. 'siapa yang mengirim ini?' pikirnya. dan ada suara menjawab di belakangnya, "aku" jawabku asal.

"kau?"

"iya. aku yang mengirimnya. aku berharap dandelion ini bisa sampai ke kotaku. dan mengirimkan bantuan untukku."

"bantuan? untuk apa?"

"ini dimana? aku tidak tahu! aku sendiri!"

"aku tahu kau Sendiri." jawab Bima dingin.

"bukan Sendiri, tapi sendiri. ah, sudahlah..."

kereta kencana.

"kau mau kemana?" Bima bertanya sambil berjalan santai di belakangku.

"tidak tahu."

"kau kotor. mandilah."

"apa? maksudmu?"

"aku menyuruhmu mandi."

"aku tidak suka mandi. aku malas."

"aku menyuruhmu mandi!"

"kau kenapa? kenapa menyuruhku mandi?"

"tubuhmu bau amis. darah."

aku heran. memang iya begitu? penciumannya tajam sekali.

"iya. bau amis darah bocah laki-laki itu. dia..." aku menangis.

"kau akan diburu Kaum Oak jika tubuhmu berbau darah."

"kenapa?"

"mereka haus darah. mereka juga pembunuh berdarah dingin. mereka inginkan darah. untuk hidup. dan Kota Mati...""kenapa dengan Kota Mati?"

"ya. seluruh penduduknya dibantai habis. tak bersisa."

"tapi di kota ini tak ada siapa pun."

"kecuali bocah laki-laki itu. karena mayat seluruh penduduk dibawa Kaum Oak ke negeri mereka. Negeri di Api. untuk diteliti."

"lalu kenapa bocah itu masih di sana? tak ikut dibawa untuk... untuk apa tadi? diteliti?"

"kaum Oak bukanlah manusia. mereka itu arwah. mereka memiliki wujud, tapi tidak memiliki raga. mereka meneliti kami. kita. manusia. mereka ingin seperti kita. bisa merasa, menyentuh..."

"oh, sudahlah. kepalaku pusing. aku tidak mengerti."

"mandilah."

"dimana?"

"rumahku."

"kau? rumah?"

Bima mengajakku menuju sebuah gang kecil di ujung jalan. di sana ada sebuah kereta. berkilauan. ditarik oleh tujuh ekor kuda bertanduk perak. ketujuh kuda itu memiliki sayap yang juga berwarna perak. terkembang. tubuh kuda-kuda itu tinggi, hitam. legam. kuat. dan belum selesai aku mengagumi kereta kencana itu, Bima mendorongku untuk masuk ke dalamnya.

rumah berhati.

Bima menyebutnya begitu.

lalu dia menunjukkanku sebuah kamar mandi di dalamnya.

"mandilah."

"iya aku tahu. kau sudah mengulangi kalimat itu banyak sekali hari ini. aku dengar. aku dengar. aku dengar." kataku kesal.

"ganti pakaianmu."

"tidak punya."

dia lalu masuk ke dalam sebuah ruangan. dan keluar dengan membawa pakaian ganti untukku. pakaian yang luar biasa wangi.

"ini. pakailah."

"kau, punya pakaian perempuan? apakah kau ini sebenarnya perempuan?"

"hey, ini milik ibuku."

"oh... kalau begitu aku tidak mau pakai."

"kenapa?"

"aku tidak pantas. aku malu."

"kau pantas."

"aku tidak pantas."

"kau pantas."

"aku tidak pantas."

"jangan keras kepala! kau pantas. pakailah. ganti juga jilbabmu."

"mana beliau? aku akan pakai, tapi aku harus minta izin dulu pada beliau."

"ibuku adalah wanita pemilik damai. mengertilah. pakai saja. dan jangan banyak bertanya. cepat mandi. aku tunggu disini."

makan malam romantis. benarkah?

"aku lapar." ucapku sesaat setelah selesai mandi.

"aku juga."

"jadi?"

"masaklah."

"apa?"

"iya, masaklah."

"tidak mau."

"kenapa?"

"tidak bisa?"

Bima menatapku.

"kenapa? belum pernah dengar ada perempuan tidak bisa memasak?" tanyaku kesal.

dia hanya tersenyum.

"oh, baiklah. di mana dapurnya?"

dia kembali tersenyum sambil menunjuk ke arah dapur. aku memasak. untukku. untuk dia juga. untuk kami.

tidak lama. hanya butuh beberapa menit saja, nasi, sayur, dan lauknya sudah tersaji di ruang makan.

kami pun makan bersama. berhadapan. saling menatap. memandang. dan aku kesal.

"kenapa menatapku begitu?"

"tidak boleh?"

"ya. kau tidak boleh menatapku begitu."

"kenapa?"

"karena kau laki-laki."

"lalu?"

"kau orang lain. dan asing."

"maafkan aku. lalu, kenapa kau juga menatapku seperti itu?"

"tidak boleh?"

"ya. kau juga tidak boleh menatapku seperti itu."

"kenapa?"

"kau sudah tahu jawabannya."

"ya. ya. ya. baik. maafkan aku." lalu hening sesaat. "di sini, di kota ini, apa hanya ada kita saja? kita berdua saja, maksudnya?"

"ya."

dan aku mendadak takut.

"jangan takut. ada aku. ada Tuhan."

lalu aku menjadi tenang.

kekasih

"pergilah."

"tidak mau."

"pergilah."

"aku tidak kenal kota ini. kumohon aku ingin bersamamu saja disini."

"kau akan terbunuh. mati."

"aku tidak takut. seperti katamu. ada kau. ada Tuhan."

"kumohon pergilah..."

"tidak!"

"keras kepala!"

suasana kota menjadi sangat kaku. lebih dingin dari biasanya. gelap sekali. bulan tidak muncul. tak ada bintang. satu pun. lampu-lampu padam.

tak ada listrik.

"jadilah kekasihku." tiba-tiba Bima memintaku untuk sesuatu yang sangat aneh. "jadilah kekasihku." Bima mengulangi kalimatnya. "jadilah kekasihku, maka Gerbang Tangga Menuju Langit akan terbuka."

oh, apa-apaan ini? mimpikah? aku bisa gila!

"hey, kau dengar aku? kau melamun?"

"oh, apa? kau bilang apa tadi? aku tidak dengar. maaf..." jawabku ragu agak sedikit tergagap.

"jadilah kekasihku."

aku diam.

diam.

tidak mengerti.

"baik. diam artinya iya. sekarang ikut aku."

Bima menggandeng tanganku. agak aneh rasanya. dosa. ini jelas dosa. tapi aku tidak mengerti dan menurut saja. kami mengendap-endap dalam gelap. dan aku merasa aku sedang diculik. dan udara di Kota Mati sangat dingin. mulut kami sampai mengeluarkan uap hangat ketika berbicara. oh, suhu mungkin minus lima belas derajat saat ini. aku dan Bima sama-sama mengenakan mantel tebal. tapi masih tetap merasa dingin.

kami masuk ke dalam sebuah hutan di tengah-tengah Kota Mati. aku merasa sedang diawasi. sesekali aku melihat banyak bayangan hitam berseliweran disekitar kami. Tuhan, aku takut. apa-apaan ini? aku ingin pulang...

tangga menuju langit.

"bersiaplah."

aku diam.

"kumohon kau harus menjawab. gerbang ini akan terbuka jika 'mendengar' jawaban."

aku masih diam.

"kau, jadilah kekasihku."

aku diam.

masih diam.

terus diam.

diam.

dan, "iya" akhirnya aku menjawab.

benar. sebuah gerbang yang sebelumnya kasat mata kini mulai nampak. kokoh. tinggi terbuat dari emas. berkilauan. ada banyak sulur-sulur bunga mawar disekitarnya. indah. tapi berduri.

gerbang itu terbuka sempurna. di baliknya ada sebuah pohon raksasa yang sudah tua. tapi tetap kokoh. daunnya menjuntai-juntai hampir mengenai tanah. dan seketika saja pohon itu lenyap berganti menjadi sebuah tangga pualam. tinggi. menembus awan. menuju langit...

perjalanan.

'bisakah?' itu kata pertama yang terlintas di pikiranku.

"bisa. kita harus bisa." kata Bima seakan dia membaca bisa pikiranku. "Kota Mati telah mati. sekarang dikuasai Kaum Oak. tak akan ada kehidupan lagi di sana. seperti kota-kota sebelumnya di Negeri di Awan. khatam. jika kita tetap ingin hidup, kita harus berpindah."

"Bima, jujur, aku pusing dan sama sekali tidak mengerti. sebenarnya aku ini sedang mencari seseorang. tapi aku tidak mengerti kenapa aku bisa terjebak di sini dengan situasi seperti ini..."

"siapa yang kau cari?"

"Terpuji."

"Terpuji?"

"ya. Tuan Terpuji."

"siapa dia?"

"beliau adalah seorang presiden di planetku. eh, di negaraku. oh, entahlah. yang jelas, di tempat kami dia adalah seorang presiden."

"lalu, untuk apa kau mencarinya?"

"karena dia membenciku."

"kenapa?"

aku tersenyum. mudah sekali melakukannya. senyum.

"karena Tuhan ingin aku bertemu denganmu. mungkin."

"kau ini bicara apa? jawabanmu klise."

"biar." aku tersenyum lagi. "ceritalah."

"cerita? tentang apa?"

"Ria."

"Ria?"

"kau tahu Ria?"

"ya?"

"darimana kau bisa tahu?"

"ceritalah. kau menyukai perempuan itu?"

"ya."

aku menangis.

kapas...

"kau seperti kapas."

"kenapa?"

"kita sudah sampai di langit."

"mana langit?"

"inilah langit..." luas. tak berujung. penuh dengan... awan! ada cahaya berlilauan, hasil bias matahari dengan air hujan. menyenangkan. damai. aku kagum, tak kuasa melihat indahnya ciptaan Tuhan.

"kau seperti kapas." Bima mengulangi.

"Bima..."

"ya?"

"siapa nama lengkapmu?"

"Bima Sakti."

"hihi... seperti nama sebuah galaksi."

Bima tersenyum, dan kembali mengulang kalimatnya, "kau seperti kapas."

"kau ini bicara apa?"

"aku ini penyair. itu bahasaku, menginderamu."

"aku seperti kapas? apa-apaan kau ini?"

"kau..."

"aku kenapa? seperti kapas?"

"apa cita-citamu?"

"menjadi seorang penulis."

"kenapa?"

"aku suka menulis. maka aku ingin jadi penulis."

"kenapa?"

"tidak ada alasan pasti. hanya itu saja alasanku."

"lalu?"

"sekarang sudah tidak lagi."

"kenapa?"

"kau banyak tanya."

"kenapa?"

"oh, baiklah. bagiku menikah itu satu kali."

Bima bingung.

"aku tidak ingin bercerai." aku melanjutkan.

"apa keterkaitannya antara tidak ingin bercerai dengan cita-citamu menjadi penulis dan tidak lagi ingin manjadi penulis?"

"di tempatku, para penulis perempuan sangat mengagungkan kebebasan berkarya. tidak suka siapa pun menolak apa yang dianggapnya kebebasan. dan akibatnya mereka lupa pada hakikat. hingga kebanyakan dari mereka bercerai dari suami yang di- dan men-cintainya. aku tidak ingin seperti itu. aku takut."

"menikahlah dengan penyair."

"tidak mau."

"kenapa?"

"penyair punya banyak istri."

Bima tertawa.

aku diam. kesal. 'ya, Bima. sebenarnya aku mau sekali. jika penyair itu kau...' batinku.

"tapi aku tidak seperti itu."

"iya, aku tahu."

"maksudmu?

"ya, begitu itu."

terbang

"kau. apakah kau ingin terbang?"

"ya. jika bisa."

"aku bisa."

"terbanglah."

"denganmu."

"tidak mau."

"kenapa?"

"kau bukan mahramku."

"menikahlah denganku."

"Ria?"

Bima tersenyum.

"sudahlah. terbang saja sendiri."

"aku ingin terbang dengan Sendiri. bukan terbang sendiri."

untuk pertama kalinya aku. terbang. rasanya tak terdefinisi.

Tuhan

Tuhan itu ada. kau buktinya. lihatlah dirimu di cermin. nyata. kau ada. maka Tuhan jelas adanya. nyata.

terbakar

"Bima, aku akan mati."

"aku penyair."

"aku penulis. dan itu dulu. sekarang aku senang menyebut diriku sebagai penutur."

"aku penyair."

"Bima, aku akan mati."

"jangan..."

"ini bukan tempatku, Bima."

"ini juga bukan tempatku."

"sungguh? mengapa?"

"karena aku adalah galaksi itu. aku hanya bayangan putih. jelmaan Galaksi Bima Sakti. rumahmu. tempat kau pulang."

"kenapa kau menjelma?"

"aku ingin menemuimu."

"kenapa aku? dan bukan Ria?"

"Ria tak pernah sendiri dan tersesat."

"menurutmu aku sendiri dan tersesat?"

"ya."

"apa buktinya?"

"namamu. dan ucapanmu di minimarket kala itu."

"kau..."

"Sendiri, waktuku sudah habis."

"pergilah."

"ya. aku pergi."

"Bima, mungkin sebentar lagi aku mati."

"ya. aku mengerti."

dongeng

kau menjadi rumahku. memang seharusnya begitu.

Bima Sakti melebur. debunya pecah menjadi kepingan. menyusun sebuah galaksi yang utuh. Bima Sakti.

aku. mati. Sendiri.

khatam. peluk aku.

Alhamdulillah...sungguh. aku tidak mau berteman dengan jin. memangnya hanya jin yang bisa merangkai kata-kata? katanya penyair itu teman akrabnya jin? memangnya iya? semoga aku, kau, dan mereka -kita semua- bukan. amin. Allah Maha Bijaksana. selesai.

hanya cerita, kawan! tidak merefleksikan apa pun. semangat :)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar