Kamis, 18 November 2010

Janji

oh, kasihan sekali perempuan hujan. itu hanya tinggal itu. tidak berarti apa-apa bagi kakak-kakaknya.

oh, kasihan sekali perempuan hujan. entah terpisah atau dilupakan. tapi sepertinya mereka sudah tak berharap sepertimu mengharap.

oh, perempuan hujan. kasihan sekali dirimu. ya, sudahlah, mereka toh tetap hidup dalam folder foto di komputer.

oh, perempuan hujan. sekarang kau punya kekasih. berbahagialah...

Minggu, 17 Oktober 2010

Tidak Tahu

Tidak tahu, hanya saja setiap kali mendengar rinai hujan itu menyentuh dan rebah pasrah pada tanah, aku tenang.

Tidak tahu, sekali pun lelah ini tidak berkesudahan menjajah dan menggerus sebagian luangku, aku tidak mau berhenti, aku bertahan.

Tidak tahu, namun manakala duduk di sini sembari mengambil banyak gambar awan dari segala penjuru, aku lepas.

Tidak ada pilihan lain, tidak tahu, hanya kadang aku sering lepas kendali untuk melakukan hal-hal yang aku sendiri tak sadar kenapa pada akhirnya aku lakukan. Menjejali 'jangan sedih' pada jiwa yang sedih, sungguh tidak mudah.

Aku maklum. Kumaklumi. Kukatakan, percayalah, sekali pun tak punya sinar, tetap indah. Percayalah, aku tak pernah gelisah, sadar_sabar. Segala. Takkan terbakar menjadi abu.

Aku tidak mau sendiri. Aku tidak suka sendiri. Dan beruntung ada radio dan music player.

Tidak tahu, perlahan, pasti, mengalir, menusuk melalui celah, Terikat, hingga gila.

Tidak tahu. Aku tidak tahu. Tidak tahu. Hanya saja, aku rindu alter egoku. Aku kesepian. Dan selalu saja, selalu aku yang tersendiri. Asing, bahkan bagi diriku sendiri.

Alhamdulillah, Allah Maha Melihat... :)

Kosong

Dia, berhasil tingal disini dalam rentang waktu yang tidak bisa kutawar
Tidak tahu harus menjawab apa atas setiap pertanyaan heran sekeliling

Aku mencintainya
Dan tidak mengharapkan dia mencintaiku, adalah caraku mencintainya

Semusim

Kau bilang belum pantas
Lalu apa yang pantas buatku sekarang?
Kau menyebalkan
Dan tiba-tiba aku begitu membencimu
Aku berhenti bernafas
Aku mati
Bumi, telanlah aku...

Hujan Ini Milik Kita

Jangan menangis, sayang
Ada aku bersamamu menemani
Biarkan saja bungamnu itu berlalu dengan caranya
Buatku, kau adalah kau saja
Pegang tanganku, sayang
Kita adalah satu sekarang

Kangen

Robb, dia itu siapa? Aku tidak mengenalnya. Dia itu orang asing. Tapi aku merasa begitu terikat dengannya. Nyaman.
Robb, rasa ini apa? Aku tidak megerti. Dia membuatku rindu. Rindu sekali. Sampai aku aku tidak mampu menahan. Dan aku hampir manangis merasai ini.

Sajak Senja Untukmu

Dalam hujan yang menghapus segala hari ini, aku ingin
Tapi akulah yang telah mati
Kujaga semua untukmu, untuk kita
Seperti katamu kemarin, 'sudah tidak ada aku lagi...' dan tulus dalam hati aku bersenyum, 'tapi kita...'

Sabtu, 17 Juli 2010

Percakapan

maka dengan begitu, aku sadar
percakapan kecil ini menyadarkan aku
maka jika kita sama, tentu Allah akan membersamakan kita
dan terjawab
sudah tidak khawatir lagi sekarang...

Engkau dan Aku

Ya Allah, bagaimana jika waktuku habis lalu aku belum mampu mempertanggungjawabkan usia?
Ya Allah, bagaimana jika waktu berhenti ketika masih saja aku sibuk dengan dunia?
Ya Allah, bagaimana jika nikmat hidup dalam iman Islam ini seketika Kau renggut ketika aku sedang lalai?
Adakah segala amal yang pernah kubuat sia-sia?
Atau memang sepanjang jalanku tak pernah aku berbagi hingga tersia?
Hanya secuil ingatku, itu pun diselai sombong nan riya.
Tak ada apa-apanya aku, Ya Allah.
Aku takut.
Dua puluh tiga. Apa yang sudah kubuat selama itu?
Tidak ada.
Bahkan setiap detik yang kadang tak pernah kusadar, adalah kesempatanku telah ikut terbuang.
Sementara satu ayatMu pun tak ada yang aku mengerti.
Aku buta, Ya Allah. Buta dalam segala.
Mataku buta, tak pernah bisa melihat bahwa yang kupunya adalah nikmatMu yang sudah lebih dari cukup.
Telingaku tuli, tak pernah kugunakan untuk mendengar ayatMu dalam menentukan pilihan.
Lidahku mati dalam kelu, tak pernah kugunakan untuk melafazkan asmaMu dengan santun dan penuh sungguh.
Otakku tumpul, tak pula kugunakan untuk mengukur kebesaranMu yang tak pernah bisa untuk diukur.
Apa lagi?
Seluruh ragaku mati.
Semua yang ada padaku terbuang.
Tapi kumohon, jangan butakan hatiku.
Agar aku bisa tetap merasakanMu 'di sini' tanpa terlihat atau tersentuh makhluk selain aku.

Kita Berdua

perkara ini begitu mudah
hanya perlu duduk lalu berbicara
berdua saja
meluapkan isi kepala dengan balutan kasih dari hati
maka selesailah
tapi itu tidak akan pernah terjadi
aku disini
kau disana
ada jarak sederhana yang menjadi dinding
namun, pertemuan bukanlah yang utama
sampaikanlah saja melalui cara apapun
maka aku akan mendengar dan memegangnya...

Dandelion

tidak ada alasan
hanya ingin bisa bersamamu
itu saja
dan kapan?
seperti terbang tinggi tapi tidak ada yang dituju
seperti tenggelam di lautan yang tanpa dasar
tak berarah
dimana? kau dimana? di tempatmu dan tak beranjak temui aku
sadarkah kau membuatku rindu, lemah, sesak, ingin bersamamu selalu..

Telinga Ini

adakah di sela sibukmu terselai namaku?
akankah di antara waktu singkatmu terseliakan waktu untukku?
kau ada. aku sadar itu
tapi kau pun tidak ada. yang ini lebih aku sadari lagi
aku memanggil namamu
terdengarkah?
kapan giliranku?
atau aku memang tidak pernah ada didirimu, dihidupmu, di hatimu?
cinta
bukan itu tujuanku
segala yang dirasa adalah nafasmu
meski tak pernah kudengar itu

Lagi...

mulai
seperti yang sudah sebelumnya
aku dihempas
harus bagaimana ini?
lepas dan ikhlas sajakah?
begitu lagi?
terulang lagi..
aku kecewa
padamu beruntung aku tidak mewujudi hingga beriringan

Akan Kemana?

rih ini tidak mampu
ada lelah, aku menyerah
kau begitu sombong

argh!
aku hilang arah
kau membuatku hilang arah
aku menuju sesuatu
tapi kau membuatku berhenti dan entah apa selanjutnya
aku membencimu
sangat membencimu

aku menuju sesuatu
tapi kamu membuatku terhenti dan hilang arah
aku benci, dan aku begitu membenci kamu'titik'

Jumat, 25 Juni 2010

Kunang-kunang

(menunggu 2nd half svn-eng)
aku dibuang. lagi.
kenapa?
menyebalkan sekali. coba rasakan jadi sampah. hmm, tidak nyaman.
percayakah?
pagi ini, ketika aku buka mata dan melihat ke samping kananku,
aku melihat sesuatu berkelip lembut, lemah, dan perlahan sekali.
kudekati dengan setengah mengantuk.
percayakah? apa yang aku temui?
kunang-kunang. seekor saja.
Subhanallah.. masuk lewat mana? ko' bisa?
nyata!
biasa kutemui di sela hamparan rumput pemakaman, lalu tiba-tiba ada di kamarku.
lalu hinggap manis di atas sajadahku di dini ini. dalam qiyamul lail yang sangat tidak khusyuk.
lengkap. penuh sudah.
ingin tertawa saja. kututup dengan senyum. berakhir.
ada. titik.
:)
untaian di dini 23 juni yang masih biru di laut

Kamis, 24 Juni 2010

Sudah Tidak Ada Kau Lagi

ahmad nurdin

rumput ini kau basahi
jiwa ini perlahan kau cemari
sempat kau catatkan sebuah perjalanan untuk aku
sempat kau beri sedikit ruang untuk 'kita'
cepat sekali, singkat sekali
tapi bekas ini mendalam
membuat selalu takut untuk memulai
bahkan kau membuat aku takut akan satu sisi yang lain

kau, tega buang aku..

Senin, 21 Juni 2010

Adalah Aku Yang

aku adalah pejuang
aku tidak mengenal kata menyerah atau putus asa
meski barangkali sesekali kau temui aku duduk diam tak berarah

aku adalah petarung
aku tidak akan berusaha merebut senyum milik siapa pun
karena sekelilingku adalah yang harus aku jaga

aku adalah hebat
maka takkan pernah kau lihat aku jatuh atau kalah
namun jelas aku akan selalu mengalah seperti biasanya

aku ini lemah
aku ini penerima segala
aku penurut, selalu belajar sebisa mungkin untuk tidak menuntut
lakukan apapun yang ingin kau lakukan
kerjakan segala yang ingin kau selesaikan

karena aku adalah pejuang, petarung, hebat, dan aku pulalah yang punya air mata (tapi jelas aku tidak cengeng)
maka aku bersyukur, untuk segala di hari ini :)

Mu

teduhnya dirimu
rimbunnya jiwamu
hangatnya sambutan senyummu itu
adakah hanya untuk aku?
nikahi aku untuk aku
itu saja

Untuk

sayang, apa kabar?
kau sibuk sekali

aku rindu
kapan kau datang temui aku?

kapan itu selesai?
jangan lupa, aku masih menunggumu

Dia Lugu

dia begitu lugu
dan malu
sampai-sampai beselimut hujan
diputuskan untuk diam saja
tak lagi berkomentar, apapun
bukan mundur, hanya ingin dijemput

dia begitu lugu
dan malu
hingga terjebak nafsu yang tak terkendali
maka ditanamkan untuk kembali berhening
dan ini hanya media
jelas, pasti dia tinggalkan

dan dia adalah

Topeng

ini aku tanpa topeng
tak beralas
menggigil tanpa arah tak bertepi
maka kini ini yang terkuak
aku adalah batas nyata dan maya yang enggan pergi
masih bertahan disini dengan doa kuat menguatkan

semoga ternyata ada kekal antara jalinan ini yang tak jelas
hanya aku berharap kita bersama, selamanya

Hujan, Mengingatkan

kembali belajar
bahwa tidak pernah ada ciptaan Nya yang tersia
maka ini menjadi bangkit, menyingkirkan akut sesal dalam itu

udara malam menjadi begitu bersahabat
dan aku bersyukur untuk setiap hujan yang mengingatkan

Rabu, 09 Juni 2010

Marhaban, Robb

setiap hariku adalah gelap malam yang begitu tenggelam
entah ini permainan seperti apa?
hanya semua terasa begitu rapuh tanpa sandaran
setiap waktuku adalah kedalam laut yang hitam tanpa udara, tersesat
padahal jelas yang kutuju adalah Mu
tiada lain selain diri Mu
rahim Mu
dalam hitam ini, aku sedang belajar membuka mata, menghapus kebutaan akan dunia, menempa rangkaian kunci-kunci menuju keabadian Mu (akhirat Mu)

aku
kenapa selalu saja kata aku?
padahal begitu banyak makhluk selain aku di sekeliling

aku
kenapa hanya itu saja yang ada dalam otakku?
padahal ada banyak pihak yang menuntunku bertutur tentang keagungan Mu?

egoiskah, Robb?
padahal surga Mu begitu luas tak terbatas
padahal nikmat Mu begitu melimpah_ruah
padahal rezeki Mu tak pernah putus menghidupiku

selamat datang Allah dalam ruang terluas di hatiku
marhaban ya Robb, kini semua yang ada didiriku adalah ladang hijau penerimaan atas segala ketetapan Mu
dan doa ini kini kembali bersenyum...

(meski pasti masih akan
tetap ada malam-malam berhujan)


Selasa, 08 Juni 2010

Maka Diamlah, Aku

tersesat
sedikit sekali yang kumengerti
sementara yang harus kulewati masih begitu banyak

mendengar air
samar di antara siluet yang sebagian telah memudar

ini kutahan sekuatku
berharap akan menjadi abadi, selamanya
namun, tentu ada penghentian yang tidak akan terelak
maka diamlah, aku

Bukan

seputih ini
dan sebening ini
tak ada lagi yang kuinginkan dari segala yang hanya materi
meleburkanmu dalam dera ini bukanlah keputusan bijak
maka biar Allah yang ambil keputusan bagimu bagiku, bagi baik di antara semua

mereka langit tanpa alas
mengikuti alir takdir
bersimbah lara dengan hantaran senyum melimpah

aku hanya angin
maka aku hanya lalu saja di wajahmu
hapuslah aku semampumu
larilah sejauh mungkin kau bisa
pesakitanku akanmu sudah selesai..

Kamis, 27 Mei 2010

Ini Itu

"aku tidak mau. sekarang aku sedang ingin ke bulan atau ke liverpool.."
kau ini kenapa? maksudnya apa?
selalu mempermainkan ini-itu
mengatai aku bocah
sementara, siapa yang kekanakkan?
mengatai aku ceroboh
sementara, siapa yang merusak?
kau! memang inilah sebenarnya kau
berakhir dalam sebuah pesan terbengkalai tidak terjawab
dan jelas ini-itu adalah jawaban
larutlah dalam secangkir kopi
mulailah mencari dalam aliran
aku yakin, kau takkan menemukan dua rumput alas jati

Seutas Do'a

robb,
jika aku tidak ada, maka aku ada di dekat-mu
robb,
aku malu..
tapi aku lelah
tak ada yang bisa diajak bicara, lalu aku terbiasa jadi bisu
robb,
jangan ambil dia
sekali ini saja. aku hanya ingin punya teman. aku hanya ingin berbicara, ada yang menemani berbincang. tentang malam, dini, pagi, surya, awan, terik, lembayung, senja, hingga kembali malam. atau sesekali hujan.

Rih Endang

hari ini aku ingin menjadi saya
saya adalah endang. saya bukan penyair, hanya penulis amatir. maaf bila yang saya tulis tidak bernilai seni. karena saya hanya ingin menulis. bukan membuat karya. sebabnya adalah saya tidak tahu ukuran sebuah karya. saya tak pernah menjuarai ajang apapun, tak bergelar apapun. hanya endang.
lalu ketika aku ingin menjadi aku. maka aku adalah rih lentera bumi. jangan tanya apa artinya. aku pun tak tahu. sebabnya adalah aku ingin menemukan sebuah pencarian makna aku.
antara aku dan saya ada batas pembeda yang sangat jelas. saya adalah saya dengan otak yang masih bersih, sama sekali tak pernah saya pakai untuk berpikir, begitu membosankan. sementara aku adalah aku dengan banyak pertimbangan, yang jauh luar biasa lebih membosankan. :)
maaf, baik saya atau aku, hanya punya senyum. hanya itu persamaannya.

Tuan

apa kabar, tuan tanpa kabar?
aku ingin tertawa.
ingat saat mereka menutupi salahmu untuk menyenangkan aku.
anda memang mahal tuan.
ya, mahal.
tak terbeli.

Rebah

lautku kehilangan ombak di awal mei
aku tidak lagi menjadi angin
pilu menjadi raja
lalu mati sebelum sampai pemakaman

Selasa, 25 Mei 2010

Satu Sisi

kau mungkin takkan pernah mengunjungi ini, maka kutulis di sini

ini untuk satu sisi
kau semusim, kusebut kau begitu
aku menyapamu ramah tidak sengaja, sungguh
tapi kau begitu membuatku nyaman, sadarkah?
rela aku untukmu, apa pun
kubaca beberapa tulisanmu, dan ada yang luka di sini
sedikit gerimis disini

ini untuk satu sisi
kubawakan kau sekeranjang senyum
tahukah? selama ini aku mencari rumah untukku tinggal
dan bersamamu aku damai
izinkan aku tinggali hatimu
pergilah sesukamu ke semua tempat yang ingin kau saksikan
aku menunggu
karena aku mulai merasa hatimu adalah rumahku, tempat ku pulang

ini untuk satu sisi
ini do'aku; aku ingin mencintaimu. cinta sederhana dari seorang aku yang kecil dan bukan siapa-siapa. aku yang tidak sempurna. tapi ini luas penuh makna. bolehkah? izinkanlah...
Robb, jangan biarkan rasa cintaku padamu melebihi rasa cintaku pada Mu

Menguntai Biru di Bawah Laut

dalam sebuah percakapan.

senja ini aku menemui hati.
apa kabar hati?
kau diam saja di sudut dekat altar dengan satu lilin sejak lalu.
kenapa kau simpan kunang-kunangmu di dalam toples berpasir hitam?
di mana gelasmu?
begitu suram di sini.
begitu gelap di sisi ini.
begitu lirih sedih penuh luka. parah!
kau boleh menangis hati, sungguh, tidak apa-apa. kuizinkan kali ini. kau sudah terlalu hebat, hati. hidup dengan senyum ramah pada segala sepanjang usia. sesekali ramahlah dengan dirimu sendiri. (*aku kuat. insyaAllah..)


ya sudah. dengarkan aku, hati.
ingat akan hujan?
dia selalu sendiri di angkasa, sebagai awan.
sering kali angin tidak ramah padanya.
kadang angin membuat awan yang begitu lemah_lembut berarak tidak menentu.
tapi diwaktu yang telah ditentukan, awan mampu membumi.
begitu bersahabat menjadi air dingin_bening.
menjadi hujan.
teman yang selalu ada saat semua teman tidak bisa selalu ada.
teman yang bisa kau andalkan! ingat?
meski kau sudah berhasil ber_reinkarnasi dari ranting menjadi rih, hujan tetap menjadi hujan. temanmu.

belajarlah memahami bahwa hidup adalah sederhana yang terperangkap dalam labirin.
berjuang adalah keputusan bijak. tidak putus asa adalah hebat. berhenti tidaklah salah, tentu jika kau ingat untuk kembali memulai. namun, tetap berlari sambil sesekali berjalan memperhatikan rumput yang kau injak tentu lebih menyenangkan.

hati, kau begitu maya_mengabur.
yang kutahu, di bagian ini terkadang sakit.
itu kah kau, hati?
maaf, telah meracunimu dengan pemikiran liarku.
tapi mulailah terima aku sebagai sahabat_kerabat.
agar kita bisa bersama menemukan rumah untuk pulang. bukankah kau sudah ingin pulang? aku pun demikian.

berdo'alah sambil menunggu jemputanmu datang. jemputan kita.
Sang Maha Latief tidak akan membiarkan kita sendiri. tidak akan pernah rela membiarkan hamba_Nya menangis.
istiqamah dalam do'a, sabar dengan berpasrah, tenang dalam menentukan, semangat dalam setiap yakin.

lalu menarilah tarian pulang, manis.. :)

Untuk Mu

begitu sembab pagi ini
begitu berat mata ini menanggung tangis yang entah begitu bereaksi tanpa alasan
batin ini lenyap, pudar, tidak terdengar
tidak bisa lagi terasa
Allah, Kau begitu baik memuliakan aku sebagai manusia
ikatlah tali cintaku pada Mu dan hanya untuk Mu
kelak, jika ada makhluk yang tercipta memang untuk aku
jangan lebihkan tali cinta itu melebihi pada Mu
karena cinta Mu begitu suci, hakiki
sementara cinta makhluk begitu semu, bahkan sering kali melukai
untuk Mu
kusampaikan melalui do'a sederhana, dari perenungan hati yang luar biasa kupaksa untuk berpikir

Ranting

Masih bersandar. Langit masih gelap. Hujan masih menari-nari berkejaran dengan angin. Aku masih bersandar. Kuhitungi rangkaian bunga mawar merah yang kupegang. Jumlahnya tidak berubah. Tetap tujuh tangkai. Aku berdiri, berjalan menuju sudut kamarku yang penuh sesak dengan kekosongan. Kuraih payung merah hati. Aku tak bisa menunggu. Aku pun pergi.
~
Aku melangkah. Kuabaikan hujan. Tak kupedulikan angin yang membuat celanaku basah terhembus air hujan. Aku tidak tahu kemana aku harus pergi. Aku tidak ingin menunggu. Meskipun aku tak pernah tahu apa yang aku tunggu. Aku hanya merasa jenuh. Dan aku ingin pergi.
Hujan, selalu membuatku tenang. Nyaman.
Langit masih gelap, aku terus berjalan di bawah pohon-pohon besar yang menjatuhkan daun-daun tuanya ke atas payungku.
Aku melihat ke sekitarku. Tak ada seorang pun yang kutemui. Yang setia menemaniku hanya hujan.
Diantara hujan, pasti ada ranting yang patah. Kemudian jatuh ke tanah. Sesaat setelah hujan berhenti, terik matahari akan datang, lalu membuat ranting-ranting mengering. Dan apabila orang-orang yang melewati jalan ini menginjak ranting kering itu, pasti tidak peduli, sekeras apapun ranting itu berderak. Orang-orang itu tidak akan meliriknya. Seperti aku. Orang-orang tidak mempedulikan aku. Tidak ada yang peduli padaku. Seorang pun.
~
Aku harus menata ulang hidupku. Terlalu banyak waktu yang kubuang hanya untuk memikirkan bagaimana jika ada orang yang memperhatikan aku. Memikirkan hal-hal apa saja yang akan kulakukan jika semua orang di sekelilingku sadar akan arti keberadaanku. Padahal, sedikit pun hal itu tak pernah terjadi padaku.
Hidupku yang telah menjadi kepingan merah hati tak mungkin bisa kurekat lagi. Mungkin, jika ada orang yang mau membantu merekatkan hidupku sekeping demi sekeping, pasti aku akan sangat berterimakasih. Tapi itu akan sulit. Karena, tak pernah ada orang yang mau, dan tak pernah ada orang yang bisa merekatkan ranting patah ke pohonnya.
~
Aku masih memegang payung merah hati. Aku juga masih memegang tujuh tangkai bunga mawar yang lagi-lagi terus kuhitungi. Padahal aku tahu, jumlahnya tak akan pernah berubah. Hujannya juga tidak berhenti sejak kemarin sore.
Aku duduk di kursi taman, dan masih di bawah guyuran air hujan. Semua orang melihatku dengan tatapan mencela. Apa yang salah? Apa ada yang salah denganku, jika aku ingin duduk di taman saat hujan mengguyur sambil mencabuti satu per satu kelopak mawar yang ku pegang?
Kenapa semua orang baru akan memperhatikan seseorang lainnya jika seseorang lainnya itu membuat suatu hal yang tidak wajar? Apa benar, itu bentuk perhatian? Atau hanya untuk mencela?
~
Masih hujan, dan kali ini aku melihat seseorang di ujung jalan. Entah kenapa, meskipun seseorang itu masih terlihat seperti titik, tapi titik itu mampu membuatku tenang dan menjadi memiliki harapan. Kami semakin mendekat. Siapa dia? Kami berpapasan. Aku tahu dia. Laki-laki bermata kumbang. Ternyata aku sering melihatnya. Dia mahasiswa baru di kelas. Tapi aku tidak tahu namanya.
~
Laki-laki bermata kumbang. Di mana dia? Kenapa aku tidak melihatnya hari ini? Apa dia baik-baik saja? Bagaimana kabarnya?
Aku memang bodoh. Padahal, belum tentu laki-laki bermata kumbang itu mengingatku. Kenapa aku sebingung ini? Bahkan leherku sampai pegal karena terus berusaha mencari dia di sekelilingku.
~
Hari ini aku melihatnya di taman kampus. Dia tersenyum. Lesung pipi-nya membuatku ingin ikut tersenyum. Meski aku tahu senyum itu bukan untukku, tapi aku tetap senang. Setidaknya aku tahu dia baik-baik saja, karena dia masih bisa tersenyum. Tidak seperti aku. Aku tidak mau tersenyum, karena itu membuat lidahku kelu dan hatiku memilu. Kalau saja dia tahu, betapa bingungnya aku ketika kemarin aku tidak melihatnya.
Apa dia tahu kalau aku begitu menyukai hujan? Kalau saja aku bisa memberitahunya, kalau ada alasan kecil dan berharga yang bisa membuatku menjadi begitu mencintai hujan. Karena, saat ada hujan aku merasa ada yang menemani.
Setiap hari aku selalu merasa sendiri. Aku selalu merasa sepi. Dan itu sangat menyiksaku. Dan setiap aku ingat bahwa setiap hari selalu ada perasaan seperti itu, hanya hujan yang menjadi temanku bercerita. Dan itu seolah-olah membuat aku yakin bahwa langit ikut menangis, karena ada seseorang sedang merasa sendiri. Padahal seseorang itu adalah aku yang bersedia menjadi begitu berarti untuk siapa pun, namun tak pernah ada orang lain yang tersadar.
Seandainya semua orang bisa menjadi hujan untukku. Bisa menjadi hujan untuk semua ranting agar tak mengering.
~
Hari ini tidak hujan. Hanya mendung. Tapi setidaknya ada perasaan senang. Aku tidak tahu kenapa. Dan yang pasti, sekarang aku sudah tahu nama laki-laki bermata kumbang itu. Aku mau tersenyum. Dan kali ini lidahku tidak kelu, hatiku juga tidak memilu.
Seandainya hari ini hujan, aku pasti punya teman untuk bercerita.
Hujan, aku ingin menceritakan sesuatu yang indah padamu. Aku ingin kau tahu betapa bahagianya aku hari ini. Betapa bernyawa-nya hidupku saat ini. Dan ternyata apa yang aku lakukan agar bisa bertahan hingga hari ini tak pernah sia-sia. Karena akhirnya, aku bisa tahu namanya.
Benar-benar sebuah alasan kecil yang sederhana. Tapi itu begitu berharga bagiku.
~
Biasanya hujan mengguyur malu-malu. Tapi kali ini, sepertinya hujan sedang penuh dengan amarah. Anginnya begitu kencang. Membuat tubuhku menggigil. Aku merasa sendiri. Sepi dan terbuang.
Sekali saja. Aku ingin sekali saja laki-laki bermata kumbang itu tersenyum untukku. Karena hari ini, aku merindukannya. Karena aku ingin menjadi berarti meski hanya untuk seorang manusia saja. Karena aku manusia.
~
Hujan datang lagi hari ini. Aku melihat hujan tersenyum padaku dari balik jendela. Dan sekarang aku sedang duduk bersebelahan dengan laki-laki bermata kumbang itu di kelas. Aku memperhatikan jarinya, aku melihat pensil yang sedang digenggamnya. Aku juga melihat cara tangannya menulis di atas buku catatannya. Semuanya terlihat indah. Semuanya terlihat begitu bermakna. Tangan itu, sepertinya hangat jika kusentuh. Tapi aku takut.
Dia benar-benar biasa saja. Tidak ada yang menarik. Tapi entahlah, yang pasti dia begitu sempurna bagiku. Melihat sosoknya, membuat sesuatu yang hebat berputar di perutku.
Setiap melihatnya, ada sesuatu yang hebat memukul-mukul rongga dadaku. Tapi aku takut. Aku tidak berani mengatakan aku jatuh cinta. Karena sebelumnya, aku tak pernah jatuh cinta.
~
Hari ini seperti biasa. Hujan dan dingin. Aku tidak melihat laki-laki bermata kumbang itu. Dan ini menciptakan semburat perih di rongga dadaku. Seperti sebuah perasaan kosong.
Dimana dia? Dimana laki-laki bermata kumbang yang mampu membuatku selalu ingin tersenyum?
Saat-saat seperti ini membuat aku merasa menjadi waktu yang terbuang sia-sia. Aku juga merasa telah menjadi dingin yang tidak pernah berarti apa-apa ketika matahari menghangatkan ribuan tulang-tulang yang menggigil karena hujan.
Aku sungguh tak berarti apa-apa. Bahkan temanku hanya hujan. Tapi setidaknya, sejak aku bertemu laki-laki bermata kumbang itu, aku jadi punya harapan. Meskipun yang kuingat, harapan itu hanya sebuah senyum hangat dari bibir laki-laki bermata kumbang. Karena dengan begitu, aku jadi memiliki harapan lain. Yaitu untuk menjadi sedikit lebih berarti di hadapannya. Walaupun aku tahu, sampai hari ini dia bahkan tidak mengenalku.
~
Seperti biasanya. Hujan mengguyur kota Bandung.
Dan hari ini lagi-lagi ada sesuatu yang hebat memukul-mukul rongga dadaku. Aku melihatnya. Aku melihat laki-laki bermata kumbang. Dia menatapku. Aku merasa ada sesuatu yang mengikatku, erat. Membuatku tak bergerak selama beberapa detik.
Kuberanikan untuk menghampirinya. Tapi aku takut. Sudahlah, aku harus menghilangkan rasa takut. Karena aku bukan pengecut. Lagi pula, aku hanya ingin merasakan bagaimana jika aku berada di dekatnya. Sekali ini saja…, beri aku kekuatan.
Kutarik nafas dalam-dalam, dan baiklah, akan kulakukan.
Aku berjalan. Aku bisa merasakan, saat ini langkahku sangat kaku. Aku berhenti di belakang punggungnya. Diam dan tak membuat gerakan sekecil apapun. Seisi tubuhku berputar. Seperti ada sesuatu yang menggoncangku. Seluruh organ di dalam tubuhku tak mau diam. Semuanya bergerak, berlarian. Dan yang pasti ada sesuatu yang hebat memukul-mukul rongga dadaku.
Laki-laki bermata kumbang itu sama sekali tidak menyadari keberadaanku. Aku ingin. Ingin sekali dia tersenyum untukku.
Aku takut.
Baiklah. Tidak akan pernah ada kesempatan untukku lagi. Harus hari ini. Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Aku hanya harus berjalan dan berdiri di hadapannya. Hanya itu saja. Karena hanya itu yang bisa kulakukan agar bisa mendapat sebuah senyum.
Saat aku berada tepat dihadapannya, dia tersenyum, menatapku hangat, menyapaku, dan menyebut namaku, “Hai, Ranting.”
~
Hari ini cerah. Tidak seperti biasanya. Langitnya begitu tenang, awannya begitu lembut berarak. Anginnya pun ramah. Tapi aku tetap lebih menyukai hujan. Meskipun aku sadar, gerimis terkadang lebih ramah dari pada hujan. Tapi tetap saja, bila cuaca secerah ini, aku akan lebih menyukai hujan. Karena sinar matahari selalu membuat ranting yang patah dari pohonnya menjadi kering, terinjak, dan tidak dipedulikan, meskipun ranting itu berderak keras.
Dan aku tahu rasanya pasti sakit. Karena aku merasakan hal seperti itu setiap hari. Maka, aku berharap hari ini hujan akan kutemui.
~
Oh, betapa aku masih mengingat kejadian kemarin. Ketika aku berada tepat di hadapannya. Ketika dengan hangat dia tersenyum untukku. Dan benar-benar hanya tersenyum untukku. Begitu jelas dia menyebut namaku. Dia tahu namaku. Ternyata dia tahu namaku. Ternyata aku tidak begitu tak berarti untuk orang yang baru ku kenal. Meskipun arti keberadaanku untuknya hanya sedikit. Tidak apa-apa. Karena, untuk pertama kalinya dalam hidupku, ada orang yang sadar bahwa aku ada.
~
Kembali hari ini aku melihat dia di ujung jalan. Tujuh tangkai bunga mawar yang kupegang terasa begitu harum, lebih harum dari biasanya. Payung merah hati yang kupegang pun menjadi seperti begitu ringan.
Sebentar lagi. Tidak lama lagi aku akan mendapat senyum hangat itu lagi.
Laki-laki bermata kumbang itu berjalan lurus ke arahku. Aku bersiap-siap akan menyapanya. Tapi tidak, aku terlalu kerdil untuk melakukannya. Lebih baik kuberikan senyum terbaikku saja. Aku bersiap untuk tersenyum. Ku pasang mata berbinar, biar dia tahu aku ada di sini.
Tapi, dia terus berjalan. Lurus. Tidak menatapku. Tidak melirikku, sedikit pun. Tidak melihat ke arahku. Dan rasanya sakit.
Tak ada seorang pun yang tahu saat ini hatiku begitu sakit. Tak ada seorang pun yang tahu. Kecuali jika hujan ada di sini, untukku.
Harapan sekecil itu pun bahkan terlalu tinggi untukku. Kenapa selalu aku yang tidak boleh memiliki harapan?
Laki-laki bermata kumbang itu telah membuat harapanku mengering dan tak berarti apa-apa. Dia juga telah membuat harapanku yang tak pernah berarti apa-apa itu menjadi benar-benar sebuah harapan. Tanpa pernah menjadi mimpi yang bisa ku kejar.
Seharusnya dari dulu aku tahu. Seharusnya aku sadar dari awal. Tidak ada yang peduli padaku. Termasuk laki-laki bermata kumbang itu. Karena sampai kapan pun aku akan tetap seperti ranting kering yang terbuang. Patah dari pohon saja sudah sakit, apalagi harus mengering dan terinjak. Tidak ada yang peduli. Sehebat apapun berderak, berteriak.
Inilah aku. Tidak ada yang membutuhkan aku. Tidak ada yang peduli padaku. Seperti namaku, Ranting.
~




Maaf, Ibu

Aku pulang. Kuletakkan tas butut di samping kakiku yang beralaskan sandal jepit usang. Sulit rasanya kutegakkan wajahku. Tapi aku ingin melihat sepasang mata yang dulu kuingat begitu hangat saat menatap sambil membelai wajahku. Aku hanya berharap mata itu tetap begitu meski keriput di sekitarnya pasti telah mengurangi keindahannya.
~
Masih memerah wajah langit senja itu. Saat kulangkahkan kaki menuju kota Bandung dengan berbekal ijazah SMEA. Kutinggalkan sosok ringkih dengan sinar mata hangat tepat di depan pintu. Digantungkannya tinggi-tinggi harapan padaku. Harapan yang tak pernah terpikirkan olehnya. Harapan yang kupaksakan.
~
Langit masih cerah. Bias jingga mulai memerah. Hari mulai malam. Dan malam ini Yono berjanji menjemputku. Laki-laki yang kupuja itu akan mengajakku menemui ibunya.
Beberapa saat kemudian kudengar derum motor berhenti di halaman kamar kontrakkanku yang tak begitu luas. Kemudian Yono menghampiriku yang sejak beberapa saat yang lalu—setelah mendengar kedatangan Yono—telah duduk manis menunggunya. Dia senang melihat wajahku yang kupoles dengan bedak dan lipstick seharga lima belas ribu rupiah yang diberikan Yono padaku dua hari yang lalu. Pemberian yang begitu murah bila dilihat dari segi materi. Namun itu menjadi sangat berarti bagiku. Karena yang memberikan itu semua adalah Yono, kekasihku.
~
Aku sampai di kediaman Yono. Rumah yang begitu mewah namun tetap anggun. Isinya pun tertata rapi. Semuanya indah. Semuanya serba mahal. Tentu saja, jika kuingat cerita Yono tentang kleuarganya, pantas saja rumah ini begitu mewah. Karena Yono keturunan ningrat.
~
Aku berlari. Kunaiki angkutan kota sambil menangis. Kesembunyikan tubuhku di balik kaca angkutan kota yang gelap itu. Dan begitu jelas kudengar Yono meminta maaf dan memintaku untuk kembali ke rumahnya sambil berlari mengejar angkutan kota yang kunaiki. Tapi masih kuingat jelas pula saat wanita setengah baya itu memaksaku angkat kaki dari rumahnya dengan nada tinggi. Dan menyalahkanku karena aku terlahir dari keluarga yang tak sederajat dengannya.
Kuingat jelas wanita yang memperkenalkan dirinya sebagai ibunya Yono begitu menjunjung tinggi status kebangsawanannya. Tapi, apa ada yang salah padaku jika aku tidak dilahirkan dari keluarga bangsawan seperti beliau? Apa salahku jika aku tidak terlahir dari keluarga ningrat?
~
Telah kuhabiskan waktu berminggu-minggu untuk berpikir tentang Yono. Akhirnya aku memutuskan untuk tidak berhubungan lagi dengan dia. Aku masih sakit hati. Bukan keran Yono, tapi karena sifat ibunya Yono yang begitu mengagungkan keningratannya.
Aku juga tidak ingin terlarut dengan suasana hatiku yang kalut. Aku harus memperbaiki semuanya. Aku akan memulai semuanya dari awal, tanpa Yono. Laki-laki yang begitu aku cintai.
~
Aku berhasil melupakan semua hal yang berhubungan dengan Yono. Itu semua karena, saat ini aku sudah mempunyai kekasih baru. Dia lebih tampan, lebih baik, dan lebih berpendidikan dibandingkan dengan Yono. Dan semenjak aku berpisah dari Yono, tak pernah ada lagi orang yang selalu menjejaliku dengan norma-norma yang harus selalu dipatuhi. Itu artinya, aku bebas.
Lagipula saat ini aku bersiap untuk berkencan. Meskipun aku tidak pernah mengenal pasangan kencanku nanti. Yang jelas, kekasih baruku berkata, bahwa teman kencanku sekarang adalah orang baik. Dan aku pasti tidak akan kecewa telah kenal dan pernah berkencan dengannya.
~
Kuciumi laki-laki bernama Yoga yang kini berbaring di sampingku. Kuberikan segalanya. Kupasrahkan semua yang aku punya. Dan dia begitu menikmati tubuhku. Sama sekali tak kusesali. Dan besok aku masih harus menemani Tuan Robert bermain biliar.
Yang kupikirkan saat ini adalah uang. Aku harus mendaptkan uang agar kekasihku bisa melanjutkan kuliahnya. Karena semakin cepat kekasihku lulus, semakin cepat pula kami menikah.
Ah, menikah. Ibu pasti senang mendengar anak perempuan satu-satunya akan menikah. Akan kubuat pesta besar di kampung. Agar semua orang tahu bahwa ibuku berhasil mendidikku menjadi seorang anak yang sukses di kota.
~
Siang ini kekasih baruku akan menemuiku. Kukenakan rok diatas lutut yang dibelikannya saat ulang tahunku seminggu yang lalu.
Tak berapa lama dia menghampiriku yang sedang menikmati secangkir kopi panas di sebuah café di salah satu sudut kota Bandung. “Mana uangnya? Aku benar-benar membutuhkannya. Aku harus menyelesaikan tesisku secepatnya. Dan aku butuh biaya.” Itu kalimat pertama yang kudengar dari bibir kekasih baruku setelah dia mencium keningku.
Sesaat setelah dia duduk di kursi di sampingku, aku merogoh tas. Dengan bangga kukeluarkan amplop berisi uang yang diinginkannya. Uang yang kudapat setelah aku menemani Tuan Robert bermain biliar. Dan kulihat dia begitu senang. Dan dia berjanji akan membelikanku sepatu baru. Saat ini aku merasa berguna untuk kekasihku. Aku senang melihatnya bisa menggapai cita-citanya.
~
Hari ini kekasih baruku memintaku untuk menemui Tuan Robert lagi. Awalnya aku menolak. Namun dia terus memaksaku untuk mau menenui Tuan Robert. Dia juga berjanji bahwa ini untuk yang terakhir kalinya aku harus menemui Tuan Robert.
Aku begitu mencintai kekasih baruku. Maka, aku menurut. Lagi pula, bayaran menemani Tuan Robert pasti besar.
~
Suasana di ruangan ini begitu panas. Dan aku ketakutan. Aku duduk di tengah-tengah orang-orang yang berpendidikan. Aku sudah jujur. Tapi mereka tetap mendesakku untuk mengatakan “Ya.” Tapi aku bersikeras mengatakan bahwa barang itu bukan milikku. Barang itu milik Tuan Robert. Dan aku dijebak.
Tapi percuma. Tanganku tetap saja diborgol. Sakit. Dan kekasih baruku hanya memberikan senyumnya saja. Setelah kuberikan segalanya. Segala yang dia inginkan.
~
Dingin. Itu yang kurasakan saat ini. Berdiam di sudut ruangan yang lebih sempit dari kamar kontrakkanku. Aku hanya mendengar suara rumput bernyanyi tertiup angin di luar sana. Aku bahkan lupa rasanya bakso, makanan favoritku. Kutatapi satu per satu wanita-wanita yang mengenakan pakaian yang persis sama denganku. Mereka tertidur lelap. Tapi aku tak tahu, apakah mereka memikirkan hal yang sama denganku? Aku ingin bebas. Tapi aku harus menunggu empat tahun lagi. Dan empat tahun bukanlah waktu yang sebentar.
Aku menatap langit dari balik jeruji besi. Aku ingin mengatakan pada kekasihku, betapa aku mencintainya. Namun, mengapa dia tidak datang untuk menemuiku? Meskipun hanya sebentar.
~
Aku terus merenung. Apa salahku? Kenapa harus aku yang dijebak? Kenapa kekasih baruku tega memperlakukan aku seperti ini? Aku jadi teringat ibu. Ibu, aku ingin pulang.
Aku yang salah. Kenapa aku mau dibujuk untuk menemui Tuan Robert? Padahal, sejak pertemuan pertamaku dengan Tuan Robert, aku tahu bahwa dia bukan orang baik. Dia adalah seorang pengedar obat-obatan terlarang. Dan aku dijebak saat Tuan Robert memintaku untuk membawakan tasnya ke kamar hotel. Tas yang berisis barang haram, yang mengantarkanku ke tempat ini. Tas yang membuat Tuan Robert dan semua orang yang berhubungan dengannya selamat. Sementara aku…
~
Akhirnya hari ini kekasihku datang berkunjung. Dengan penuh semangat aku keluar menemuinya. Aku berharap, dia akan membawa kabar baik untukku.
Aku duduk di sampingnya. Dia memegang tanganku erat sekali. Dan itu membuatku sangat senang. Aku bahagia. Meskipun aku takut, tapi aku tenang jika kekasihku ada di dekatku. Namun, tiba-tiba dia berkata, “Maaf, Sayang. Aku ingin hubungan kita berakhir. Dan aku harap kau mau mengerti, kalau kita memang sudah selesai.”
Aku menangis di hadapannya. Namun itu tetap tidak membuatnya luluh dan menarik kata-katanya. Aku tidak percaya. Laki-laki yang selama ini aku banggakan ternyata sanggup menyakitiku setelah keberikan apa pun yang dia minta. Apa pun.
~
Keretanya masih terus berlari mengejar waktu. Asapnya masih mengepul tinggi. Dan begitu jelas kulihat pemandangan yang sama persis ketika kutinggalkan wanita ringkih itu di depan pintu. Bebas. Aku ingin bebas. Dan hari kekebasan itu kini telah menjemputku.
Kulepaskan pakaian bernomor 123 itu tadi pagi. Dan senang rasanya kutinggalkan rumah yang menaungiku selama empat tahun ini dibalik jeruji besi untuk barang yang bukan milikku. Aku harus mengakui kesalahan yang tidak pernah kulakukan. Tapi kini, aku pulang.
~
Aku tak tahu apa yang akan terjadi nanti. Tapi saat ini aku hanya ingin tersenyum menikmati pemandangan indah di kiri dan kananku.
Gerbong-gerbong kereta yang kosong menari-nari ditarik lokomotif yang masih meniupkan asapnya. Penjaja makanan dengan setia menawarkan dagangannya kepada setiap penumpang yang ditemuinya. Pengamen cilik menghampiriku. Dia mainkan alat musik yang terbuat dari lima buah tutup botol yang dipipihkan, dan dipaku pada sebatang kayu kotor. Dia menyanyikan sebuah lagu yang membuatku ingat pada Tuhan.

Segala yang ada dalam hidupku
Kusadari semua milik-Mu
Kuhanya hamba-Mu yang berlumur dosa
Tunjukkan aku jalan lurus-Mu
Terangiku dalam setiap langkah hidupku
Karena kutahu hanya Kau Tuhanku…
(penggalan lagu UNGU)

Tuhan yang sudah lama kulupakan. Tuhan yang selalu ada untukku. Tapi aku tak pernah mengingatnya sedetik pun. Tuhan yang menggariskanku untuk terlahir dari seorang wanita hebat yang membesarkanku. Tuhan yang kini membuatku bersyukur karena aku masih diberi kesempatan untuk pulang dan memperbaiki semuanya.
Pengamen cilik selesai menyanyikan lagunya. Kuberikan lima keping uang receh pecahan seratus rupiah. Hanya itu sisa uang yang kupunya. Bahagianya aku melihat anak itu tersenyum penuh makna.
Terima kasih Tuhan, hari ini aku bisa membuat seorang hamba-Mu tersenyum. Meskipun aku sadar, aku ini bukan orang suci.
~
Tak terasa lima belas menit lagi aku sampai di Kroya. Tanah kelahiranku. Tanah yang melihatku tumbuh dengan harapan yang begitu indah. Harapan yang kupaksakan pada seorang wanita ringkih yang kutinggalkan di depan pintu. Kuyakinkan padanya bahwa aku akan jadi orang sukses di kota. Aku akan membuatnya dapat menikmati masa tuanya. Dan dengan sejuta doa dia melepaskanku menggapai harapanku. Melepaskanku untuk pergi ke Bandung.
Sekarang aku pulang. Tak membawa apa-apa. Bahkan nama baikku pun telah hilang. Nama baik ibuku pun ikut tercemar.
~
Sulit rasanya kutegakkan wajahku. Tapi aku rindu dengan sorot mata hangat itu.
Aku harus masuk ke dalam. Aku ingin melihatnya. Aku harus menemuinya. Karena alasan itulah saat ini aku pulang ke tempat ini. Ke rumah. Meskipun jika aku melangkahkan kakiku ke dalam, berarti aku telah mengotori rumah ini dengan ketidaksucianku.
Perlahan kusentuh gagang pintu yang penuh karat. Kubuka dan kusibakkan kain lusuh yang menutupi kaca pintu itu.
Langkah kecilku perlahan memasuki rumah dingin yang membesarkanku. Rumah yang menyaksikan begitu besarnya keinginanku untuk membahagiakan wanita ringkih itu.
Kubayangkan, beberapa langkah lagi aku akan menemui wanita itu sedang duduk di kursi reyot sambil menyulam pakaian hangat untukku. Kuniatkan untuk mencium kakinya. Kuyakinkan pada diriku untuk meminta maaf padanya. Dan akan kuminta dia untuk memelukku dengan pelukan terhangatnya. Pelukan yang tak pernah lagi kurasakan sejak delapan tahun lalu. Sejak kuberanikan diri untuk menggapai harapanku.
~
Kuucapkan beribu kata maaf. Tapi aku tak yakin dia mendengarku. Aku tak lagi dapat mencium kakinya. Dan tak ada lagi sinar mata hangat itu. Juga tak kutemui dia di tempat yang kubayangkan. Karena saat ini aku bersimpuh di hadapan nisan yang mulai keropos termakan rayap. Menangis aku di pusara-nya. Maaf, Ibu.
~

Cerita Cinta Pendek

Di dunia ini ada banyak orang yang sering lupa bahwa ada hal-hal sederhana yang tidak bisa dilihat dengan mata. Melainkan dengan hati. Sayangnya, kau adalah bagian dari orang yang sering lupa.
~
Ada serpihan yang hilang. Tapi aku harus menegakkan wajahku. Aku siap untuk berdiri di atas senyum palsu sampai beberapa minggu ke depan. Aku lelah selalu kau jadikan alas kaki. Setidaknya, aku bisa berarti untuk orang lain. Meskipun itu baru mungkin. Aku lelah, terus-menerus mengemis hal bodoh bernama cinta darimu. Padahal sekali pun kau tak pernah menganggapku ada. Kecuali jika kau membutuhkan sesuatu dari aku. Apa hanya itu harga sebuah aku di matamu? Apa itu bayaran sebuah aku bagimu?
~
Kau bersikap seperti sekaleng minuman bersoda di sebuah super market. Sementara, selama ini kau terus-menerus melihatku seperti seonggok sisa nasi yang dibuang ke tempat sampah. Kau melihatku. Tapi bukan untuk mengagumi kekuatanku yang mampu bertahan di tempat sampah. Kau melihatku hanya untuk memastikan bahwa aku benar-benar sampah tak berguna, menjijikkan, dan jika sampai saat ini aku masih bisa bertahan, itu karena aku hidup dari rasa belas kasihan benda yang mau merendahkan dirinya sebagai tempat sampah. Bukan sebaliknya.
Tapi tahukah kau? Aku jauh lebih berharga ketika aku tidak melihatmu lagi sebagai sebuah kaleng minuman bersoda di supermarket. Tahu kenapa? Karena kau hanya kaleng, yang pada akhirnya akan berada di tempat yang sama seperti aku. Dan tahukah kau? Aku akan jauh lebih memberikan ruang kepada dia. Tahu kenapa? Karena, ketika dia mengais pada benda yang mau merendahkan dirinya bagi kaum-kaum seperti aku, maka aku jadi jauh lebih berharga. Karena dia akan menyisihkanmu, lalu memungutku. Kemudian dia tersenyum menatapku. Seakan aku adalah sebuah kehidupan baru bagi dia, bagi perut dia. Karena bagaimana pun, kaleng tak akan pernah mampu mengenyangkan perut dia.
Aku, meskipun aku sampah bagimu, tapi aku bisa membuat seorang dia bahagia. Walau hanya seorang dia saja.
Dan pada akhirnya akulah yang akan berdiri tegak. Akulah yang tersenyum. Senyum tulus. Bukan lagi senyum palsu yang kupaksakan ketika aku memutuskan untuk melepaskanmu. Aku pasti bisa tertawa, suatu hari nanti. Pasti. Ini adalah yang terbaik bagiku, hari ini dan seterusnya. Karena ini bukan pilihanku, tapi jalan yang memang harus aku singkirkan.
~
Satu episode di hidupku berakhir di tanganmu melalui tanganku.
Terima kasih untuk cerita cinta pendek yang sempat kau percayakan padaku. Aku harus mundur. Karena, aku yakin aku akan jauh lebih baik tanpamu. Dengan begitu, aku tidak lagi hidup dengan cinta yang berasal dari rasa belas kasihan.
Kau harus memahami, bahwa cinta tidak sama dengan kasihan.
~
Sayang, tahukah kau? Aku ini perempuan. Selama ini aku sudah belajar untuk bisa menyentuh hatimu, tapi itu adalah pelajaran yang tidak mudah. Hingga akhirnya aku meyakinkan diriku sendiri untuk berhenti, sebelum kau sendiri yang mengalahkanku dan memaksaku untuk berhenti. Meskipun, aku masih bisa merasakan cinta. Meskipun, lukaku jauh lebih bisa kuraba daripada rasa cinta ini. Jadi, biar aku yang menghilang, karena aku memang sudah ingin pergi.
~

Namaku

Perempuan itu memanggilku Batosai. Tak pernah kutanyakan padanya apa alasan dia memanggilku dengan sebutan itu. Tidak penting. Aku bahkan baru mengenalnya beberapa minggu yang lalu.
Aku masih ingat wajahnya ketika pertama kali kami bertemu. Dia bahkan terdiam beberapa saat hingga aku menyadarkannya dengan menanyakan siapa namanya. Sejak itu, setiap hari dia selalu menemuiku dengan seuntai senyum manis yang setelah kuperhatikan, senyum itu selalu dia sajikan pada setiap orang yang dia temui. Suaranya begitu renyah. Tawanya selalu membuat sisi lain di hatiku menjadi lebih nyaman. Jilbabnya begitu rapi menutupi auratnya.
~
Perempuan itu memiliki mata yang indah. Mata paling indah yang pernah kulihat. Bahkan jauh lebih indah dari mata emakku. Maaf Emak, tapi itu harus aku akui.
~
Pagi ini dia menemuiku dengan membawa sebuah kisah indah, baginya, bukan bagiku. Dia mengatakan padaku bahwa suatu hari nanti, jika di punggungnya tumbuh dua buah sayap, dia akan terbang menuju langit. Lalu dia akan duduk di atas awan. Bahkan dia akan mengambil segenggam awan untuk dilemparkannya padaku. Agar aku tersadar bahwa dia bisa terbang dan bermain di awan.
Ketika dia bercerita, aku memperhatikannya dengan penuh takjub. Di wajahnya ada banyak hal yang membuatku ingin tahu banyak tentangnya. Ketika dia bercerita, ada rasa yang mencuat dari sisi lain di hatiku. Memaksaku untuk tersenyum. Sungguh, dia begitu kekanakkan.
~
Beberapa bulan ini aku merasa hidupku selalu dikelilingi hal-hal baru. Aku tak pernah tahu dari mana hal-hal baru itu berasal. Meskipun, skripsi telah membuat laki-laki pemalas seperti aku harus belajar ekstra keras untuk mencari jurnal dan materi yang berkaitan dengan judul skripsiku. Tentu saja, aku harus lulus tahun ini. Maklum, semestinya aku sudah lulus tahun lalu. Tapi, ada banyak hal yang membuatku memutuskan untuk mengambil mata kuliah skripsi tahun ini.
~
Pagi ini aku melihatnya di perpustakaan. Perempuan itu duduk serius di antara tumpukan buku-buku akuntansi dan statistika untuk penelitian. Ada tiga buku yang terbuka pada halaman tertentu di hadapannya. Dari jauh, aku melihat jarinya yang kurus dan pajang menyusuri kalimat demi kalimat pada salah satu halaman buku. Tanpa sadar, aku ikut tersenyum ketika wajah perempuan itu seketika tersenyum simpul seolah telah menemukan sesuatu yang telah lama dia cari.
Aku berjalan ke arahnya. Kemudian aku berhenti di hadapannya, lalu duduk pada kursi yang berada tepat di depannya. “Assalamu’alaikum...” kataku mengucapkan salam pada perempuan dengan jilbab yang selalu rapi menutupi auratnya. Caranya mengenakan jilbab memang sangat sederhana. Tapi itu membuatnya terlihat begitu manis, begitu sempurna. Karena, dia tidak cantik.
~
Aku laki-laki berusia dua puluh tiga tahun. Namun aku masih sulit untuk menyelesaikan beberapa masalah dalam hidupku. Termasuk untuk skripsiku sendiri. Bahkan mendekati hari sidang skripsiku, aku masih belum menemukan teori-teori pendukung yang tepat. Hingga saat aku berada di perpustakaan, perempuan itu tiba-tiba duduk di sampingku.
“Apa yang masih kurang?” tanya perempuan itu dengan penuh semangat.
Setelah aku menceritakan semua kesulitan yang kuhadapi, perempuan itu berkata, “Tunggu sebentar.” Lalu dia menghilang di antara deretan rak-rak buku di ujung perpustakaan.
Tak lama menunggu, perempuan itu datang dengan membawa bertumpuk buku-buku tebal, bahkan ada beberapa yang berdebu. Kemudian dia menunjukkan padaku letak teori-teori yang kuperlukan untuk melengkapi skripsiku yang masih kurang dari buku-buku yang dibawanya.
Memang, ada beberapa teori yang tidak kumengerti. Bahkan ada yang belum pernah aku dengar sebelumnya. Namun dengan penuh sabar, dia menjelaskannya satu per satu padaku. Dia begitu sabar melayani semua pertanyaanku. Hebatnya, dia bisa memecahkan semua kebingunganku.
Aku memperhatikan caranya menjawab pertanyaan-pertanyaanku. Begitu serius, hati-hati, dan mendetail. Membuatku mengerti dan takjub padanya. Perempuan itu begitu berbeda dengan perempuan yang ketika itu bercerita tentang keinginannya memiliki sepasang sayap. Aku bahkan berpikir, mungkinkah dia memiliki dua dunia yang tersimpan rapi di kepalanya?
~
Sejak hari itu, perempuan itu selalu menanyakan padaku, “Apa yang masih kurang?” Maka, setiap aku menghadapi kesulitan, aku selalu bertanya padanya apakah dia mau membantuku. Dan dia selalu menjawab iya, tanpa perlu berpikir panjang. Hingga pada akhirnya, kami sama-sama lulus sidang skripsi. Meskipun perempuan itu lulus dengan nilai yang lebih baik dari aku.
Sampai pada suatu pagi, dia menemuiku tanpa senyumnya yang biasa kulihat. Jilbabnya terlihat sedikit berantakan, namun tak ada sehelai rambut pun yang terlihat. Seluruh auratnya tertutup, begitu sempurna. Meskipun pnempilannya agak sedikit kusut. Dia semakin tidak cantik.
Aku duduk di sampingya. Hanya duduk di sampingya, tanpa berkata apa-apa. Aku bingung, apa yang terjadi padanya? Wajahnya bahkan selalu dia tundukkan. Lalu aku mendengar suara yang begitu pelan dan hati-hati keluar dari bibirnya yang tipis.
“Batosai, apa kau tahu? Sudah begitu lama aku memperhatikanmu. Mungkin kau tak pernah sadar, kalau selama beberapa tahun ini ada sepasang mata yang selalu mengawasimu. Mungkin kau tak pernah merasa, bahwa ada hati yang bersorak gembira ketika sepasang mata itu melihatmu tersenyum. Meskipun senyum itu tidak kau tujukan pada sepasang mata itu.”
Aku diam.
“Kenapa kau begitu baik padaku, Batosai?”
Aku tetap diam.
“Kau memanfaatku. Benar? Kau baik padaku agar aku bisa membantumu menyelesaikan skripsimu? Iya? Kalau begitu, aku senang bisa membantumu.” Lalu dia pergi dengan senyum yang polos. Seakan semua bebannya hilang. Apakah kalimat itu yang membebaninya?
~
Hari ini aku melihatnya di ujung jalan.
Aku bergegas menghampirinya. Namun dia berlari, menjauh dariku.
~
Aku dan yang lain tengah bersiap-siap mengikuti gladi resik acara wisuda.
Setelah acara selesai, aku menunggunya di pintu keluar gedung. Aku berharap bisa menemuinya dan mengucapkan kata maaf yang belum sempat kuucapkan saat itu. Atau mungkin... aku justru lupa mengucapkan maaf? Ah, entahlah.
Aku melihatnya berjalanan tergesa-gesa menuju ke arahku. Aku sudah bersiap menyapanya. Namun, dengan setengah berlari, dia berjalan lurus melewati aku. Bahkan dia tidak melirikku sedikit pun.
~
Hari wisuda telah tiba. Aku dan yang lain tentu memiliki kebanggaan tersendiri mengenakan baju kebesaran kami, toga.
Ketika dia bergerak menuju podium untuk menerima ijazahnya, dia sempat melihat ke arahku. Tanpa berpikir panjang, aku memberikan senyum terbaikku untuknya. Karena selama ini, selalu dia yang tersenyum lebih dulu padaku. Tapi, apa kalian tahu? Perempuan itu diam saja. Aku melihat ada kekecewaan di matanya.
~
Aku ingin menemuinya. Aku ingin mengatakan padanya, “Namaku Ahmad. Aku laki-laki yang mulai mencintaimu.” Aku bahkan tak pernah tahu kenapa perempuan itu memanggilku Batosai. Padahal dia tahu, namaku Ahmad.
~

Ketika

Ketika dia tersenyum, semua mata memandang tajam ke arahnya. Seakan seluruh dunia ikut merasakan hangatnya setiap senyum yang teruntai manis dari bibirnya. Kemudian diam-diam semua mimpi telah dia kubur dalam-dalam. Bahkan terlalu dalam hingga dia harus selalu berpura-pura bahagia dan tampak tenang di hadapan semua orang yang dia temui. Ketika dia mulai merasa sanggup menghadapi semuanya, kemudian dia takut.
~
Tak begitu jelas terlihat wajah laki-laki yang ada dihadapannya. Hingga dia pun tidak dapat mengenalinya. Namun, dia yakin laki-laki yang ada di hadapannya memiliki ikatan batin yang erat denganya.
Entah siapa laki-laki itu. Yang jelas, saat ini dia begitu marah.
Diarahkannya senapan berlaras panjang itu ke kening seorang laki-laki yang duduk lemah dihadapannya. Dimaki, dicaci, diludahi, dan ditampar laki-laki itu olehnya tanpa henti. “Tak kubiarkan kau melakukan semua itu pada wanita lain. Dan cukup wanita itu saja yang kau sakiti!”
Diarahkannya senapan berlaras panjang itu ke kening seorang laki-laki yang kini memohon ampun padanya. Dan kemudian, matilah.
~
Lila namanya. Wanita cantik berperawakan ideal bagi seorang wanita. Namun masa lalunya begitu suram.
Alasan itu juga yang mungkin membuat orang-orang di sekitarnya hanya memandang sebelah mata padanya.
~
Alarm di ponselnya menunjukkan tepat pukul sembilan pagi. Ya, dia biasa bangun jam sembilan pagi. Namun hari ini dia bangun lebih awal – tapi tidak – tepatnya dia tidak tidur semalam. Dia masih duduk tenang di bawah keran air di kamar mandi dengan air dingin menghujam deras seluruh tubuhnya. Tak begitu pandai air itu menutupi air matanya.
Ponselnya berdering. Bergegas dia menjawab panggilan di ponselnya.
Dilihatnya sebuah nama, Om Hermawan, memanggil. Dengan manja dia menjawab, “Ya, Om. Satu jam lagi Lila sampai. Hotel Berlian kamar 539, kan? – Ok!” Ponsel pun mati.
Lalu dia duduk, terdiam. Sesaat kemudian dengan cekatan dia meraih rokok dan korek di samping lampu tidur di atas meja yang sudah berkarat dimakan waktu.
Dia berjalan menuju garasi rumahnya.
Sebelum sampai di garasi, dia menyempatkan diri untuk memperhatikan setiap sudut di rumahnya. Semuanya berantakan. Tidak ada satu pun benda yang tersimpan rapi. Kalau pun ada, benda itu pasti dipenuhi debu, karena Lila enggan membersihkan rumahnya. Menurutnya, rumah yang dia tinggal sudah terlalu bersih. Bersih dari orang-orang. Karena hanya dia saja yang tinggal.
“Seharusnya, ada sedikit sentuhan seorang ibu di rumah ini,” Lila membatin. Rumah tempat Lila tinggal tidak begitu luas. Namun suasananya begitu sepi bahkan terlalu sepi. Sehingga rumah itu menjadi dingin, kaku, dan sama sekali tidak ramah.
~
Lila masih berada di dalam rumahnya. Saat ini dia berdiri di tengah ruang keluarga. Ruangan yang seharusnya memberinya sebuah kehangatan sebuah keluarga. Tapi kehangatn itu belum pernah dia rasakan. Ruangan itu justru memberinya kenangan buruk. Bahkan, bunga sedap malam di salah satu sudut ruangan itu dibiarkannya mengering sejak belasan tahun yang lalu.
Hanya ada sebuah mimpi yang selalu dia coba untuk dapat mewujudkannya. Sebuah mimpi untuknya dan juga untuk rumahnya.
Dia menginginkan akan ada sebuah hari dimana ibunya akan pulang dan dapat merawatnya serta membersihkan rumahnya. Dia menginginkan ibunya selalu ada untuk menyiapkan makan malam setelah dia lelah bekerja. Melarangnya melakukan hal ini dan itu demi kebaikannya. Juga memberinya sebuah cuiman di kening sebelum dia tertidur.
Atau mungkin, Lila ingin sesekali memijat lengan ibunya ketika kelelahan setelah sepanjang hari menunggu Lila pulang dari bekerja, atau setelah merajut baju hangat untuknya.
Namun jika mengingat keadaan ibunya saat ini, sepertinya hal itu menjadi tidak mungkin.
Sesaat kemudian, Lila teringat akan janjinya pada Om Hermawan. Seketika itu juga di melupakan dan mengubur dalam-dalam semua cita-citanya.
~
Lila segera menuju garasi dan bergegas pergi menemui laki-laki yang dipanggilnya Om.
Jalanan mulai ramai pagi ini. Namun Lila tetap menyetir mobilnya tanpa kendali. Tentu saja sambil menghisap rokoknya dalam-dalam. Begitu cara Lila menikmati hidupnya.
“Inilah caraku.” Kalimat yang sama, yang selalu dia ucapkan pada setiap orang yang bertanya mengapa dia begini? Atau, mengapa dia begitu? Tapi hingga hari ini, hanya beberapa orang saja menanyakan hal itu padanya. Selebihnya, orang-orang itu tidak ingin tahu.
Dia sama sekali tidak peduli dengan sekitarnya. Karena, dia selalu berpikir bahwa dunia pun tidak peduli dengannya. Yang dia tahu hanyalah ketika dia sendirian, tak ada satu pun yang berusaha untuk menemaninya dan mendengar keluh-kesahnya. Padahal, Lila hanya ingin didengar.
~
Tepat satu jam kemudian dia sampai di tempat yang dijanjikan laki-laki yang dipanggilnya Om.
~
Lila terbangun tepat saat alarm di ponselnya berbunyi. Meja di samping tempat tidurnya dipenuhi dengan botol-botol minuman bermerek dengan dua gelas yang salah satunya tergeletak-di lantai tak beraturan.
Lalu dia beranjak menuju ruangan yang selalu membuatnya merasa tenang di manapun dia berada. Kamar mandi. Dia menyalakan keran airnya. Menikmati dinginnya air yang kemudian akan mencairkan hatinya dan kemudian membuatnya lagi-lagi menangis.
Dua jam dia berada di kamar mandi – membasahi hatinya. Dia merasa cukup. Bergegas dia menyelesaikan semuanya. Sekarang saatnya dia pulang ke rumah.
Rumah yang membesarkannya dengan penuh tangis. Rumah yang menjadi saksi bahwa hidupnya begitu sulit. Dan rumah yang menjadi saksi, bahwa dulu pernah tinggal seorang wanita hebat yang dengan masa depan sederhana yang tertata rapi di benaknya. Namun kemudian porak poranda ketika semua yang membuat Lila terlahir dikenalnya. Wanita itu pula yang meletakkan bunga sedap malam di salah satu sudut rumahnya, belasan tahun yang lalu.
~
Berlembar-lembar rupiah yang dipuja-puja banyak orang – bahkan sanggup membuat seorang wanita melepaskan keperawanannya – tergeletak di atas selimut tebal yang menghangatkannya ketika dia memberikan kelaminnya pada laki-laki yang dipanggilnya Om.
~
“Jangan pernah menangis dihadapanku. Karena aku tak akan pernah iba padamu. Pecundang! Apa pernah kau iba pada wanita itu? Tak pernahkah kau merasa kasihan? Atau mungkin kau lupa bagaimana cara menggunakan hatimu?! Pernahkah terpikirkan ketika dia bersusah payah mempertahankan aku? Ketika dia meronta meregang nyawa untuk melahirkan aku? Jijik aku harus terlahir sebagai anakmu! Dan dimimpi itu, aku melakukan hal yang lebih menyakitkan dari ini!”
Senapan berlaras panjang itu memuntahkan pelurunya. Bunyi ledakkannya memekakkan telinga dua orang dengan satu darah. “Kau telah melukainya terlalu dalam! Jadi, belajarlah untuk mengenali hatimu sendiri!”
~
Tanpa berpikir panjang, Lila berlari menuju mobilnya dan tergesa-gesa menenangkan diri dengan menghisap sebatang rokok.
Laki-laki setengah baya yang dipanggilnya Om itu masih tak bergeming di ruangan dingin yang hanya berpenghuni dia seorang. Bukan menatapi langit-langit rumahnya yang sedikit berlubang karena peluru senapan berlaras panjang yang ditembakkan Lila. Tapi matanya nanar menatapi foto seorang wanita cantik namun polos mengenakan pakaian lusuh sambil menggendong bayi yang dia kenal sebagai anak yang tak pernah diakuinya.
~
Langit Jakarta malam ini membuatnya semakin marah. Dia melihat bintang bertaburan menyala terang. Sinar bulan yang hangat membuat banyak orang menghabiskan malam ini dengan bersenang-senang. Namun tidak dengan Lila.
Malam ini adalah malam paling menyedihkan baginya.
~
“Begitu jelas kuingat saat kau berusaha mencari uang untuk membelikanku pakaian seragam, agar aku bisa memakai seragam merah putih di hari pertamaku bersekolah. Padahal aku tahu, kau bahkan tidak ingat siapa dirimu. Mungkin kau pun tak pernah merasakan duduk di bangku sekolah meskipun hanya satu hari.
“Tapi aku bisa merasakan kau mengenali aku. Aku bisa merasakan kasih sayangmu. Tulus.
“Ibu, masih ku ingat jelas saat kau tiba-tiba menangis, menjerit, dan ketika kau ketakutan seolah-olah laki-laki yang pernah merampas satu-satunya harta yang kau miliki ada disekitarmu. Padahal saat itu tidak ada siapa pun, kecuali hanya ada aku dan kau.”
Air matanya mulai menetes. Namun, langit Jakarta semakin indah.
Lila semakin kesal, bahkan alam pun tidak peduli padanya. Tak adakah yang ingin mencoba mengenali hatinya?
“Dia, laki-laki yang kupanggil Om. Aku melihatnya. Dia menyimpan foto kita. Dia menyimpan foto kita di dompetnya.
“Dompetnya tertinggal di kamar hotel. Aku melihatnya, Ibu. Aku membencinya. Tapi percayalah, aku tak pernah menyesal terlahir dari rahimmu. Meski aku juga tak pernah tahu seberapa dalam luka hatimu. Karena dia telah membuatku lahir dari rahimmu yang pasti tak pernah menginginkanku sebelumnya. Dia juga yang membuatmu menjadi seperti sekarang.”
~
Jakarta hampir pagi. Namun Lila belum puas menangis. Dia masih duduk di roof top sebuah perkantoran.
“Tuhan, kirimkan aku seseorang yang mau mengenali hatiku. Karena, aku ingin ada seseorang yang mau membaca setiap air mataku.”
~
Lila tak berhasil menyentuh wajah pucatnya. Bahkan yang dia terima hanya teriakkan memekakkan telinga, yang lagi-lagi membuatnya menangis.
~
Melangkah keluar.
Itu hal yang paling dibencinya. Meninggalkan sosok lusuh dengan pakaian melekat kumal di tubuh seorang wanita setengah baya. Wanita yang kecantikannya telah pudar termakan usia. Wanita berwajah pucat yang kehilangan keperawanannya dengan paksa. Wanita yang melahirkan Lila.
Wanita itu pula yang kini terduduk lemah di sudut bangsal nomor 23 Rumah Sakit Jiwa Jakarta.
~

Pepes Ikan Mas

Masih diam memandangi gadis pujaannya. Tersenyum sendiri dan kadang mengerutkan kening, bahkan ikut meringis apabila melihat gadisnya terluka barang sedikit. Seolah-olah dia sendiri yang mengalaminya. Jika sedang memperhatikan si gadis dari kejauhan, dia sama sekali tak ingat dengan sekitarnya. Aneh.
~
Sejak kedatangan si Gadis beberapa minggu yang lalu, Choki jadi sering melamun. Apalagi jika dia tidak bisa melihat si Gadis sekali pun dalam satu hari.
Gadis adalah cucu Nenek Yani pemilik rumah di seberang jalan. Gadis baru saja lulus sekolah menengah atas dan berencana akan kuliah di Bandung. Untuk itu, Gadis pindah ke rumah Nenek Yani.
~
Gadis membuat Choki memiliki kebiasaan baru. Kebiasaannya yaitu mondar-mandir mencari perhatian si Gadis. Dan beruntungnya, si Gadis juga terlihat menyukai Choki. Bahkan, si Gadis sering mendatangi rumah kami hanya sekedar untuk menemui Choki dan menanyakan kabarnya.
Apabila si Gadis berkunjung ke rumah, Choki pasti langsung pasang aksi seolah-olah dia adalah pria paling jantan diantara pria-pria lainnya. Dia juga tidak lupa menunjukkan kekekaran ototnya. Ya, meskipun kulit Choki agak hitam, tapi kalau di pikir-pikir dia manis juga.
~
“Choki, sudahlah. Jangan kau terus memandangi si Gadis. Nanti matamu bisa lepas dari tempatnya.” Itu kalimat yang selalu kuucapkan pada Choki setiap aku menemuinya. Jelas saja. Setiap menit, setiap jam, bahkan setiap hari semenjak kedatangan si Gadis, Choki jadi tidak punya pekerjaan lain selain memelototi si Gadis.
Setiap hari selalu memuji setiap gerak-gerik gadis pujaannya. Apapun yang dilakukan si Gadis, dia selalu memujinya dengan penuh kesungguhan. Terlebih lagi, jika mengingat keadaan mereka yang jauh berbeda.
~
“Choki, kesini.” Sapa si Gadis ramah pada Choki pagi ini. Terang saja, Choki langsung menghampiri si Gadis dengan lagak sok perkasa. Kemudian si Gadis memberinya makan, makanan kesukaan Choki. Tentu saja Choki makan dengan lahap. Meski menurutku dia agak malu-malu. Dan menurutku lagi, Choki sama sekali tidak memperhatikan makanan yang dibawa si Gadis. Bahkan mungkin, jika Choki disuapi katak, dia pasti tidak akan menyadarinya. Karena Choki justru memperhatikan wajah si Gadis yang sangat cantik. Tentu saja, jika dibandingkan dengan gadis-gadis sekampung, si Gadis memang paling cantik.
Saat si Gadis sedang asik menemani Choki makan, Nenek Yani yang telah mengenakan pakaian terbaiknya dan bersiap-siap akan pergi, berpamitan pada si Gadis.
“Gadis! Nenek pergi dulu. Nanti mau dibawakan apa?” Tanya nenek si Gadis.
“Gadis ingin pepes ikan mas, Nek.” Jawab si Gadis yang masih menemani Choki makan.
“Ya sudah, nanti Nenek beli-kan. Nenek pergi dulu. Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikum salam…, hati-hati ya, Nek!” Pesan si Gadis pada Neneknya yang masih terlihat cantik dan segar di usianya yang hampir tujuh puluh tahun.
Nenek Yani memang nenek yang baik. Andai aku punya nenek sebaik itu. Tapi jangankan nenek. Ibuku saja aku tidak mengenalnya. Bahkan aku belum pernah melihatnya sekali pun. Tapi sudahlah. Aku justru ingin tertawa melihat Choki tersedak ketika mendengar si Gadis minta dibawakan oleh-oleh pepes ikan mas.
~
Selesai menemani Choki makan, si Gadis lalu pergi. Dan Choki masih seperti biasa. Dengan penuh kekaguman, dia terus memandangi si Gadis yang kini sudah masuk ke dalam rumahnya.
“Kira-kira, nenek si Gadis akan membawakan pepes ikan tidak?” Choki bertanya padaku dengan tanpa melihat ke arahku sedikit pun.
“Ya…, mungkin saja. Memangnya kenapa?” Tanyaku.
Choki sama sekali tidak menjawab pertanyaanku. Dia masih tetap memandangi si Gadis dengan penuh rasa sayang. Sampai tanpa pernah kusangka sebelumnya, Choki tiba-tiba berkata ngelantur, “Mungkin enak ya, kalau salah satu bagian tubuhku ada di dalam mulut si Gadis. Kemudian dia merasakan betapa nikmatnya tubuhku, sambil menciumi harumnya aroma tubuhku. Wah…,”.
~
“Yah Nenek, Gadis kan suka banget sama pepes ikan mas. Kenapa Nenek bisa lupa?” Tanya Gadis kecewa, ketika tahu neneknya pulang tanpa membawa oleh-oleh yang dia inginkan.
“Maaf. Namanya juga nenek-nenek, pelupa. Tapi Gadis jangan cemberut seperti itu dong. Nanti Nenek buatkan yang lebih enak. Buatan sendiri pasti lebih enak daripada beli. Tuh, lihat kolam ikan di seberang rumah kita. Ikannya besar-besar. Asal Gadis tahu, ikan yang segar dan kita pancing langsung dari kolamnya, bisa menambah kualitas dari rasa pepes.”
Percakapan antara nenek dengan cucu itu bisa jelas kudengar setiap hari. Karena tempat tinggalku berada di seberang rumah mereka. Jaraknya pun tidak terlalu jauh. Jadi, apapun yang mereka bicarakan, dan hal-hal apa saja yang mereka kerjakan, aku bisa tahu.
~
“Tolong!! Tolong aku! Mereka menangkapku!”
Itu kata-kata terakhir yang diucapkan Choki sebelum dia pergi dari rumah. Aku memang melihat Choki mengerang kesakitan, tapi kupikir saat itu Choki sedang main-main. Lagi pula saat itu aku sedang sibuk membersihkan rumah. Menurut teman-temanku yang lain, mereka melihat Choki meronta. Mencoba melepaskan diri. Dan mereka ingat sekali kalau saat itu wajah Choki sangat ketakutan. Entah apa yang terjadi saat ini pada Choki. Aku khawatir sekali. Dia adalah sahabatku satu-satunya dan paling baik.
Seandainya saat itu aku berada di dekat Choki, aku pasti akan menolongnya dengan sekuat tenaga agar Choki bisa selamat dan tetap berada di rumah. Aku sangat menyesalkan kejadian itu. Kenapa saat itu aku justru lebih peduli untuk membersihkan rumah daripada membantu Choki menyelamatkan diri. Padahal aku jelas-jelas melihat Choki minta tolong.
Entah ada dimana dia sekarang. Maaf, mungkin bahasaku kurang bagus. Tapi itu tidak penting. Yang penting sekarang adalah Choki. Dimana dia? Aku sampai bingung mencarinya. Sudah kucari di sekeliling rumah kami, tapi aku tetap tidak menemukannya. Apa mungkin dia pergi untuk selamanya? Memangnya, dia tidak berhasil melarikan diri? Padahal, aku berharap sekali Choki bisa lolos. Apa yang terjadi padanya? Choki, maafkan aku.
~
Sudah semalaman aku mencari Choki. Tapi tetap tidak bertemu juga dengannya.
Ketika aku sedang bingung mencari tahu keberadaan Choki, aku melihat si Gadis malah sedang makan siang. Sama sekali tidak merasa kehilangan.
“Wah…, harumnya saja sudah membuat Gadis ngiler. Pasti rasanya juga enak. Cara nenek menyajikan pepes juga menarik.”
Pantas saja si Gadis tidak merasa kehilangan Choki, ingat juga tidak. Itu karena makanan kesukannya, pepes ikan mas, ada di hadapannya dan siap untuk disantap. Kemudian si Gadis menyuapkan secuil pepes ikan mas yang dibuatkan neneknya dan baru saja matang. Sepertinya memang enak. Tapi aku tidak bisa mencium harumnya. Meskipun rumahku berseberangan dengan rumah si Gadis, tapi kalau masalah aroma makanan, aku tidak bisa menciumnya.
“Ternyata ikan mas pilihan nenek tidak salah. Banyak dagingnya. Rasanya juga enak banget. Bumbunya juga pas. Lebih enak daripada beli. Nenek hebat, deh!”
“Tentu saja. Nenek ini sudah berpengalaman dalam hal masak-memasak. Kalau hanya memasak pepes ikan mas, itu sih kecil.” Kata nenek si Gadis sambil menjentikkan jarinya.
“Iya, deh. Percaya. Tapi Gadis juga hebat, kan? Gadis cuma butuh waktu beberapa menit untuk bisa menjaring ikan mas yang nenek pilih. Itu artinya, gadis juga punya bakat.”
“Bakat apa?” Tanya nenek si Gadis sambil duduk di kursi di samping Gadis dan ikut menemaninya makan.
“Gadis berbakat menjaring ikan dalam waktu yang singkat. Nggak semua orang bisa melakukan itu, Nek!”
Mereka tertawa bersama, sepertinya merka bahagia sekali. Apalagi Gadis, sepertinya pepes ikan mas memang makanan yang paling dia suka.
~
Si Gadis benar-benar menikmati pepes ikan mas itu. Dia benar-benar tidak ingat pada Choki. Padahal, selama ini hanya dia yang diingat Choki. Bahkan, Choki rela menghabiskan waktunya seharian hanya untuk melihat wajahnya saja dari kejauhan.
Kasihan Choki. Kalau saja dia tahu apa yang dilakukan si Gadis saat semua orang bingung mencarinya. Si Gadis bahkan tidak sekali pun menanyakannya. Tapi tunggu dulu, ikan mas itu berwarna hitam legam. Warnanya sangat kukenal. Kemarin pagi aku baru saja mendengar ikan mas itu meronta minta tolong agar dia dibebaskan saat jaring yang diayunkan si Gadis mengenainya. Aku yakin, itu pasti Choki.
~
Sedih, lagi-lagi aku kehilangan sahabat terbaikku. Tapi kenapa harus Choki? Padahal, baru saja dua hari yang lalu aku kehilangan Ramon, minggu lalu Susi, gadis idaman yang sudah lama ku-taksir. Dan hari ini…, Choki.
Tapi aku senang, setidaknya keinginan Choki untuk berada di dalam mulut si Gadis, tercapai juga. Choki… Choki, kalau kamu bisa melihat, saat ini si Gadis sedang menikmati tubuhmu dan menciumi harumnya aroma tubuhmu. Katanya, dagingmu enak. Tentu saja, karena kau adalah ikan mas itu.
Apa memang begini nasib kami? Memangnya siapa yang mau terlahir sebagai ikan mas? Tapi tunggu dulu, kalau begini terus, jangan-jangan besok giliran aku yang jadi pepes ikan mas. Tidak!!
~

Seperti Hujan Pertama

Kau begitu sempurna. Tak ada satu pun yang pernah begitu berarti untukku. Setiap waktu, setiap aku punya kesempatan, tak pernah kulewatkan untuk mengukir namamu di hatiku dengan tinta ketulusan paling mewah yang pernah aku punya. Kau begitu sempurna. Sesempurna hujan yang begitu kusukai kala kemarau membuat banyak bunga menjadi tua sebelum waktunya. Kau begitu penuh keajaiban di mataku. Kau seperti hujan pertama.
~
“Deru...”, itu suara pertama yang kudengar dari bibirmu saat kau memperkenalkan sosokmu. Saat itu namamu terdengar sederhana. Saat itu sosokmu terlihat biasa.
Deru, nama yang tiba-tiba terdengar istimewa.
Kini sosok itu terlihat sempurna. Meski dalam angan saja. Deru, pernahkah terlintas untuk mencariku?
Deru, aku lelah selalu sendiri.
~
Hari ini biasa saja. Hanya terik matahari yang semakin menjadi dan membuat kepalaku sedikit pusing.
Kuedarkan pandanganku ke segala arah. Ke setiap sudut ruangan tak berbatas yang kusinggahi. Tapi, Deru tak juga kutemukan.
~
Deru. Tiga tahun yang lalu kau selalu hadir di setiap jejak langkahku. Tiga tahun yang lalu kau selalu membuatku tertawa dengan segala hal yang setelah kupikir itu sama sekali tidak lucu.
Aku mencarimu. Percayakah aku selalu mencarimu?
Tapi aku tidak tahu kenapa Tuhan tidak pernah mau memberiku satu keberuntungan. Satu saja keberuntungan untukku. Agar aku bisa menemukanmu. Agar aku bisa mengatakan sesuatu yang tak sempat kukatakan tiga tahun yang lalu.
Masih kuedarkan pandanganku setiap aku punya kesempatan untuk mencarimu.
Aku lelah memikirikanmu. Sementara aku tak pernah tahu apa kau juga memikirkan aku? Aku sudah tak punya kekuatan untuk berlari mengejarmu. Karena kau sudah terlalu jauh. Sementara aku tak pernah tahu ke mana arahmu berlari.
~
Deru, kau harus percaya kalau aku telah berulang kali mencoba membuat diriku melupakanmu. Pernah kucoba untuk melupakan satu hal kecil tentangmu. Tapi aku gagal.
Setiap aku hampir berhasil, selalu ada hal lain yang membuatku ingat kembali.
“Tuhan, beri aku satu keberuntungan...”
Deru, itu adalah do’a yang selalu kupanjatkan agar aku bisa menemukanmu. Atau, sebuah do’a yang kupanjatkan agar aku benar-benar bisa melupakanmu.
~
Tuhan, kenapa harus aku? Tuhan, tahukah Engkau begitu buruknya aku dimata orang-orang? Deru begitu sempurna. Sementara aku begitu penuh dengan kekurangan. Semua yang ada padaku tidak ada yang indah. Satu pun. Tuhan, tahukah Engkau bagaimana sakitnya aku ketika orang-orang menatapku dengan penuh cela?
Tuhan, kenapa Kau hanya menciptakan satu Deru untukku? Kenapa tidak Kau ciptakan dua, tiga, sepuluh, atau seratus Deru untukku? Tidakkah itu mudah bagi-Mu?
Tuhan, tidakkah selama ini Kau melihat? Hanya Deru yang mampu menatapku dengan pandangan teduh tanpa cela. Hanya dia yang mampu membuat aku ada dan berarti untuk orang lain. Meskipun hanya untuk satu orang. Untuk Deru.
~
Aku berjalan lambat. Pohon tua di ujung jalan menjatuhkan puluhan daun kering ke udara. Sebagian tersentuh tanganku. Sebagian yang lain terinjak kakiku yang masih terus mencari keberadaan Deru.
Deru, kau begitu lembut. Begitu sempurna. Terkadang aku berpikir. Begitu adilnya Tuhan. Dia mampu menciptakan manusia yang penuh dengan kesempurnaan. Dan aku melihat kesempurnaan itu ada padamu, Deru. Dan Dia juga mampu menciptakan manusia yang penuh dengan kekurangan. Dan aku melihat kekurangan itu ada padaku.
Tapi itu membuatku bertanya? Kenapa Tuhan memisahkan kita?
Deru, jangan ikut menangis. Jika kau melihat saat ini aku menangis, itu karena aku marah. Aku tidak tahu siapa yang harus aku salahkan. Tuhan? Bukankah Dia telah begitu baik, karena telah mempertemukan aku denganmu?
~
Terik matahari masih meraja hari ini. Dan aku masih belum bisa menemukanmu. Aku berjalan menundukkan kepalaku. Semua orang disekelilingku masih memandang jijik ke arahku. Bahkan, sebagian dari mereka mungkin akan lebih senang jika tidak bertemu denganku hari ini.
Aku duduk di bawah terik matahari. Aku mencoba melihat langkah-langkah awan di langit. Awan-awan itu terlihat begitu bahagia. Berkejaran satu sama lain. Dan bila sempat, mereka berusaha untuk membentuk suatu objek dengan tubuh mereka yang terlihat lembut dari sini.
Apakah pernah terpikir oleh mereka jika hujan turun? Maka mereka akan terpisah. Entah dimana mereka akan jatuh. Tapi, mereka pasti akan membuat banyak orang yang menyukai hujan tersenyum. Seperti aku. Aku begitu menyukai hujan. Aku menyukai suasananya. Aku menyukai udaranya. Aku menyukai petirnya. Aku menyukai kilatan cahaya yang begitu tegas di langit. Aku begitu menyukai semua yang berhubungan dengan hujan.
Karena, itu semua mengingatkanku pada Deru. Dan itu membuatku sadar, bahwa aku pernah berarti untuk seseorang. Seseorang itu mampu menjadi hujan saat amarah menguasaiku. Seseorang itu mampu menjadi hujan saat aku menangis dengan sejuta air mata. Dia seperti hujan pertama.
~
Terima kasih Tuhan, akhirnya Kau turunkan hujan.
Hari ini hujan. Dan aku teringat Deru. Mampukah aku menemukanmu dengan sisa kekuatanku?
~
Aku bernafas. Aku melihat. Aku manusia. Aku kembali berdo’a, “Tuhan, beri aku satu keberuntungan saja...” Karena aku yakin aku tidak ingin mati saat ini. Kau tahu begitu kecewanya aku akan diriku sendiri.
Jadi buatlah aku sempurna, Tuhan. Ciptakanlah satu Deru lagi untukku. Karena itu yang mampu membuatku merasa sempurna. Aku tak peduli bagaimana buruknya aku di mata semua orang. Aku tak akan pernah mempedulikan lagi bagaimana cara orang menatapku. Tapi aku butuh Deru. Aku akan mampu melakukan segala hal jika Kau juga mau memberiku satu kesempatan untuk kembali memiliki Deru.
~
Hari ini masih biasa saja. Tapi ada harapan kecil yang kupegang saat ini. Aku berharap, keberuntungan itu akan datang hari ini. Aku berharap Tuhan akan membuatku beruntung hari ini. Setidaknya ada cara untukku agar aku bisa menemukan Deru, atau aku sama sekali bisa melupakannya.
Aku berjalan. Aku masih mencari dimana keberuntunganku. Dimana?
Oh! Aku tahu! Tuhan, terima kasih. Terima kasih karena akhirnya Kau mau memberiku satu keberuntungan. Kau memberiku ide agar aku bisa menemukan Deru. Atau bahkan melupakannya sama sekali.
Saat ini aku akan mulai mencari. Jika aku tidak bisa menemukanmu hari ini. Besok aku pasti akan menemukan cara untuk melupakanmu.
~
Aku mencari ke setiap sudut. Ke setiap tempat yang biasa dikunjungi Deru. Aku bertanya pada semua orang, apakah mereka pernah melihat Deru?
Semuanya bungkam. Dingin. Seperti hujan yang mulai mengguyur kota Bandung yang begitu luas, hingga aku sama sekali tidak mampu untuk menemukan Deru.
~
Seperti janjiku. Hari ini aku akan mengakhiri semuanya. Semuanya.
Aku pergi meninggalkan kamarku yang mulai membuatku bosan. Kulawan hujan yang begitu deras menghujam setiap jengkal tubuhku. Kubiarkan bibirku membiru dan menggigil. Yang aku pedulikan saat ini adalah keberuntunganku. Aku yakin, hari ini aku pasti beruntung. Tuhan pasti tidak akan terus menghukumku.
Aku masih mencari.
“Tuhan, beri aku satu keberuntungan. Satu keberuntungan saja. Aku mohon...”
Akhirnya keberuntungan itu datang. Aku bisa menemukannya. Aku bisa menemukan sebuah tempat yang pasti mampu membuatku melupakan Deru.
Aku melihat sebuah sungai yang indah. Begitu lebar, dan airnya pun begitu deras. Aku mencoba mendekat. Kulangkahkan kakiku perlahan. Aku menangis.
~
Deru, jika kau mampu mendengarku, maka dengarkanlah aku. Ada sesuatu yang belum sempat aku ucapkan tiga tahun yang lalu.
Deru, jika suara hatiku tidak begitu jelas kau dengar, cobalah tutup matamu. Cobalah dengar sekali lagi.
Deru, aku lelah selalu sendiri. Tahukah kau, tidak ada yang mau menerima aku. Tidak ada orang yang mau melirik aku. Kalau pun mereka terlanjur melihatku, pasti hanya tatapan penuh cela yang kuterima.
Deru, aku berterima kasih. Meskipun aku tidak pernah bisa menemukanmu, tapi setidaknya kau membuatku sadar. Meskipun sebentar, namun pernah ada laki-laki yang mencintai kekuranganku.
~
Aku semakin mendekati sungai. Langkahku semakin lambat.
Airnya begitu deras, tapi aku melihat ada ketenangan di sana.
Deru, dengarkan aku. Ini untuk terakhir kalinya. Jadi, dengarkan ini baik-baik. Dimana pun kau berada, aku mohon jangan pernah lupakan aku.
Deru, aku tidak pernah tahu keberadaanmu. Meskipun berulang kali aku berusaha mencarimu.
Tapi, jika di tempatmu yang sekarang kau telah menemukan berjuta keindahan melebihi semua keindahan yang pernah kau dapatkan saat kau masih bersamaku, maka jangan pernah kembali untukku.
Jika di tempatmu yang sekarang kau telah menemukan kedamaian, maka jangan pernah kembali untukku. Karena, selama ini aku hanya berharap bisa menemukanmu. Bukan berharap agar kau kembali untukku. Aku juga tidak akan pernah memintamu untuk kembali seandainya dalam pencarianku aku menemukanmu. Namun untukku, semuanya sudah cukup. Cukup untuk saat ini, besok, dan seterusnya.
~
Tuhan, semoga ini yang terbaik untukku. Aku ingin semuanya selesai saat ini...
Jadi, tolong aku Tuhan. Sekali ini saja.
Aku menjatuhkan tubuhku ke dalam sungai. Tekanan airnya membuat tubuhku sakit. Tapi aku merasa semua bebanku hilang.
Saat ini air sungai yang deras membuat tubuhku terlempar tak beraturan ke segala arah. Tapi aku masih bisa merasakan air hujan mengguyur bagian kepalaku. Tuhan, aku masih hidup.
~
“Tuhan, beri aku satu keberuntungan...”
Aku hilang keseimbangan. Aku tidak bisa merasakan apapun. Namun aku juga tidak berusaha untuk mencari perlindungan. Aku ingin semuanya selesai, saat ini.
~
Tuhan, terima kasih karena akhirnya Kau membuatku selesai.
Tuhan, aku bisa merasakan diriku terapung di atas air. Aku juga merasa aku lebih tenang sekarang. Tapi, kenapa perasaanku pada Deru tak berubah? Kenapa keinginanku untuk mencari Deru tidak ikut menghilang? Kenapa keinginanku agar aku benar-benar bisa melupakan Deru masih ada? Kenapa kematianku tidak membuat semuanya selesai?
Atau..., apa aku harus mati sekali lagi? Apa aku harus membunuh diriku sekali lagi? Tapi bagaimana caranya? Tuhan, beri tahu aku agar aku bisa benar-benar mati. Karena aku belum mati.
~
Aku berlari. Aku kembali berdiri di depan sungai yang airnya mulai tenang. Satu kali lagi. Aku akan mencoba satu kali lagi.
Kujatuhkan tubuhku ke dalam sungai. Tapi aku tidak merasakan hal-hal yang kurasakan saat pertama kali kujatuhkan tubuhku ke sungai. Aku juga masih merasakan semua yang kurasakan pada Deru. Tentang keinginanku untuk menemukannya. Dan ambisiku untuk melupakannya.
Tuhan, kenapa aku tak pernah beruntung? Kenapa hanya aku yang tak pernah Kau beri keberuntungan? Kenapa aku? Bahkan, Kau juga tidak memberiku kematian. Sebuah kematian.
~
Aku termenung di bawah pohon bambu yang berderik lembut, di samping sungai. Aku menatap langit. Aku mencari Tuhan. Dimana Tuhan?
Tiba-tiba aku mendengar suara benda terjatuh ke sungai. Aku menoleh. Tapi itu bukan benda. Ternyata ada orang yang mencoba bunuh diri. Siapa?
Aku harus menyelamatkannya. Tidak mungkin ada dua orang yang tidak beruntung hari ini.
Aku berlari, aku menjatuhkan tubuhku ke dalam sungai, sekali lagi. Aku berenang semampuku. Kucoba meraih tangan laki-laki yang mencoba bunuh diri. Dia mencoba menghindariku. Tapi aku lebih kuat. Aku berhasil membawanya ke darat.
Lalu aku mencoba untuk berdiri. Namun aku terpeleset. Aku melihat laki-laki itu mencoba meraih tanganku. Tapi dia tidak berhasil. Air sungai yang begitu deras membuat tubuhku hanyut lebih cepat dari sebelumnya.
Jelas. Jelas sekali aku melihat laki-laki itu menangis. Kenapa dia menangis? Tuhan..., laki-laki itu Deru! Kenapa dia menangis? Apa dia sudah tidak mendapatkan keberuntungan-Mu? Tuhan, dia adalah laki-laki yang aku cari selama ini. Tuhan..., bagaimana ini?
“DERUU...!!” aku memanggilnya.
~
Aku berjalan di tepi sungai. Aku merasa pernah melewati tempat ini sebelumnya. Aku terus berjalan. Kemudian aku melihat seorang laki-laki duduk termenung di pinggir sungai. Laki-laki itu menangis. Kenapa dia menangis? Apa yang membuatnya menangis?
Aku mendekatinya, aku mendengar dia berkata pada dirinya sendiri, “Ya, aku Deru. Aku yang kau cari...” kemudian dia kembali menangis.
Siapa Deru? Tuhan, kasihan sekali laki-laki itu. Kasihan, Deru.
Tuhan, beri dia keberuntungan. Seperti aku yang selalu merasa beruntung ketika Kau beri hujan. Dan saat ini pun kau kembali menurunkan hujan. Meskipun untuk kesekian kalinya, tapi aku merasa hujan kali ini seperti hujan pertama. Seperti laki-laki yang menangis itu. Aku merasa dia seperti hujan pertama.
~

Karena Hatimu, Adalah Rumahku

Sendu. Begitulah caramu menatapku. Sebuah tatapan teduh yang membuatku merasa tak pernah sia-sia. Aku menemukan sebuah kenyamanan di matamu, juga di hatimu. Namun, kau begitu sedikit bicara. Hingga aku tak pernah tahu, apa yang kau rasakan. Aku juga tak pernah tahu sampai kapan aku harus menunggumu? Karena, aku mulai merasa lelah. Aku tak pernah bisa mencerna setiap kalimat yang keluar dari bibir tipismu. Maka, buatlah kalimat sederhana yang mudah kumengerti.
~
Hangat dan nyaman. Itulah kesanku saat pertama kali mengunjungi rumahmu. Rumah yang begitu penuh dengan keramah-tamahan dan penuh dengan kasih sayang. Kau persilakan aku duduk di kursi bambu tua yang berderit ketika kududuki. Kusentuh taplak meja yang dirajut apik menggunakan benang sulam terindah yang pernah kulihat.
Dengan senyum masih mengembang, kau menghampiriku dengan membawa secangkir teh hangat yang uapnya masih dapat kulihat jelas. Kemudian kau meletakkannya di samping vas bunga yang terbuat dari mozaik di atas meja.
Masih dengan senyum yang mengembang, kau mempersilakan aku untuk meminum secangkir teh yang baru saja kau buat. Manis. Manis sekali. Semanis wajahmu yang selalu membuatku nyaman. Wajah penuh senyum, wajah penuh kedamaian, seakan kau tak pernah menyimpan benci.
Ke mana pun aku pergi, aku akan selalu merasa berada di rumah ketika aku ada di dekatmu. Karena hatimu, adalah rumahku.
~
Kita mulai berbincang. Kau begitu sedikit bicara. Sementara aku selalu ingin tahu segala hal tentangmu.
Aku kembali menyeruput teh buatanmu. Sudah agak dingin. Tapi masih tetap manis. Semanis wajahmu. Ingin sekali aku jujur, kau begitu manis. Untukku, kau yang terbaik meskipun semua orang tak mengatakan hal yang sama denganku.
Rumahmu begitu membuatku nyaman. Dindingnya begitu putih bersih. Namun, di sudut kiri langit-langit rumahmu ada sarang laba-laba. Entah kenapa kau tak membersihkannya. Padahal, setahuku kau begitu bersih, begitu rapi. Aku begitu ingin tahu segala hal tentangmu. Termasuk, kenapa kau membiarkan sarang laba-laba itu tetap mengotori langit-langit rumahmu?
Bibir tipismu menjawab pertanyaanku dengan sederhana, “Semua akan indah pada tempatnya.”
Ya, jawaban yang sederhana. Namun, aku tidak mengerti dengan jawabanmu. Tapi sudahlah, aku ingin menikmati setiap sudut rumahmu. Rumah terindah yang pernah kusinggahi.
~
Kau mengajakku ke halaman belakang rumahmu. Di sana ada banyak bunga mawar. Ternyata, kau begitu menyukai tanaman. Aku menemukan banyak sekali bunga mawar. Bunga mawar terbanyak yang pernah kulihat sepanjang hidupku. Semuanya berwarna putih. Seputih hatimu. Hati yang selalu membuat aku merasa sedang berada di rumah. Hatimu begitu nyaman untukku. Kau dan semua yang ada di dirimu membuatku nyaman.
Kau mempersilakan aku duduk di kursi besi berkarat yang tidak terawat dengan baik. Aku melihat beberapa bagian catnya mulai mengelupas. Sesekali, jika aku mengunjungi rumahmu lagi, aku berjanji akan membantumu untuk mengecatnya.
Dengan senyum yang selalu menghiasi bibirmu, kau pergi meninggalkan aku. Wajahku mulai pucat. Aku bingung. Kemana aku harus pergi? Rumahku ada di hatimu. Aku tak punya tempat pulang. Hanya kau tujuan hidupku, kau adalah tempatku pulang dan melepaskan semua penat yang menghadangku dalam kehidupan nyata.
~
Kecemasanku berakhir ketika langkah kecilmu berlari menghampiri aku. Kau tunjukkan setangkai bunga mawar putih terindah yang pernah kulihat. Kau memberikannya untukku. Hanya untukku. Mungkin, bagi orang lain yang melihatnya, bunga itu tampak biasa saja. Tapi bagiku, itu sangat istimewa. Karena kau yang memberikannya untukku.
Aku tak akan pernah menyesal memilihmu. Meskipun, sampai hari ini kau tak pernah berkata kau telah memilihku. Mungkin kau belum menyadari keberadaanku. Namun aku percaya suatu hari nanti kau akan memilihku, untuk jadi pendampingmu.
Karena, aku mau menemani hari tuamu. Kelak, aku mau mencintai kulit keriputmu. Aku mau menjadi penuntun langkah rapuhmu. Aku mau menyuapimu ketika kau telah renta. Aku mau menjadi selimutmu kala dingin menusuk tulang tuamu. Aku bersedia menjadi apapun yang kau mau. Aku siap, dan aku akan selalu ada untukmu.
~
Untuk pertama kalinya aku menyentuh bunga mawar pemberianmu. Harumnya melebihi apapun. Bentuknya lebih indah dari apapun.
Namun, tetap kau yang terindah. Melebihi apapun.
~
Langit telah menorehkan senyum jingganya di penghujung hari yang mulai senja. Dengan tatapan mata sendu, kau memintaku untuk pulang. Sungguh, aku masih ingin berada di sini. Di rumahmu. Rumah yang menjadi saksi kelahiranmu. Rumah yang membesarkan sosokmu hingga mampu memberikan sinar mata teduh, tidak hanya di mataku tapi juga di hatiku.
Sesaat sebelum aku melangkahkan kakiku keluar dari rumahmu, kau mengingatkan aku untuk menghabiskan teh manis yang masih tersisa.
Sungguh, dengan berat hati aku pulang.
Aku berjalan menuju pagar rumahmu yang sama berkaratnya dengan kursi besi yang ada di halaman belakang rumahmu. Halaman yang begitu sederhana. Di ujung sana, kulihat lampu taman tua dengan cahayanya yang temaram, namun mampu menghangatkan tanaman liar yang terawat dengan baik. Semua tanaman yang ada di rumahmu begitu terawat. Semuanya indah. Sekali pun itu tanaman liar. Karena terkadang, kau juga liar di mataku. Itu yang membuatmu semakin indah untukku.
~
Beberapa bulan setelah hari itu, kau tak pernah menghubungiku lagi. Bagaimana kabarmu? Apa kau baik-baik saja?
~
Pagi ini aku melihatmu. Aku benar-benar melihatmu.
Seluruh tubuhku berteriak. Seisi tubuhku berdesakkan memaksa keluar. Ada sesuatu yang menjalari tubuhku.
Kau duduk sendiri di ujung ruangan. Tiga deretan kursi di sampingmu kosong. Aku ingin sekali berjalan ke arahmu. Duduk di salah satu kursi kosong di sampingmu. Lalu menghirup udara pagi yang sama.
Aku melihat baju hangat yang kau kenakan, warnanya abu-abu. Tas punggung berwarna biru tua kau letakkan begitu saja di atas pangkuanmu. Satu hal yang kupikirkan saat aku melihatmu. Semua kesederhanaanmu membuatku memilihmu sebagai rumahku, tempat aku pulang.
Jika saja aku punya sedikit keberanian, aku ingin berkata, “Pergilah ke mana pun kau ingin pergi. Namun, izinkan aku menghuni tempat terindah di dalam hatimu. Dan bawalah aku serta ke mana pun kau pergi, dalam hatimu.”
Namun, keberanian itu tak pernah ada. Aku terlalu takut. Aku takut jika aku mengatakan hal itu kau akan pergi meninggalkanku. Aku takut kehilanganmu. Padahal, sedetik pun aku tak pernah memilikimu.
~
Hari ini aku mencoba menemuimu. Aku berhasil. Kau kembali mengajakku untuk singgah ke rumahmu.
Untuk ke dua kalinya aku masuk ke dalam rumah yang hangat dan nyaman. Namun, ada sedikit yang berubah. Tak lagi kutemui sarang laba-laba di sudut kiri langit-langit rumahmu. Kali ini, aku tidak akan menanyakan alasannya. Karena, aku tak akan pernah bisa mencerna setiap kalimat yang keluar dari bibir tipismu. Aku tak akan pernah bisa membaca jalan pikiranmu. Terlalu rumit.
~
Saat ini aku duduk bersebelahan denganmu. Bahkan, sedekat ini pun aku tak bisa tahu apa yang kau rasakan.
Aku ingin tahu, saat ini apa yang membebanimu? Adakah yang membuatmu takut? Apa yang kau rasakan saat berada dekat denganku?
Kau terlalu sedikit bicara. Membuatku semakin sulit untuk mengenalmu. Aku mencintaimu. Aku membutuhkanmu. Aku menginginkanmu. Tidak sadarkah kau selama ini? Kenapa kau diam saja?
Setiap saat aku selalu memberikanmu kabar tentang aku. Tentang gundahku, tentang resahku, tentang bahagiaku. Namun tak satu pun kau menganggap itu hal yang penting. Kau terus diam. Kau sedikit bicara. Padahal, begitulah caraku mencintaimu. Tidak sadarkah kau selama ini?
Namun, apa yang dapat kulakukan? Yang lebih bodoh. Aku pun hanya diam saja, tidak berusaha sedikit pun untuk memberikanmu pengertian tentang apa yang kurasakan padamu.
~
Kau berdiri. Menghilang di balik tirai berwarna coklat.
Kali ini aku sama sekali tidak merasa cemas. Karena aku yakin, kau pasti akan kembali menemuiku.
Benar saja. Sesaat kemudian kau kembali dengan membawa secangkir teh hangat. Kau mempersilakanku untuk meminumnya.
Rasanya masih sama. Manis. Semanis wajahmu.
Kapan semua ini akan berujung? Sementara aku tak pernah tahu kapan aku memulai. Yang aku tahu, aku mencintaimu. Namun, cukupkah semua rasa itu untuk bisa mendapatkan hatimu? Aku ingin kau tahu, semua yang ada padamu membuatku semakin nyaman. Dan aku bersedia menunggumu untuk waktu yang tak terhingga. Untuk cinta yang tak terbatas.
~
Ironi. Sebuah perasaan tak berbalas.
Itulah aku. Selalu saja begitu. Aku selalu kalah. Dan jika aku adalah pemenang, maka aku pulalah yang harus mengalah dan menanggalkan kemenangan itu. Kenapa tak ada satu pun cinta untukku?
~
Kembali memikirkanmu. Aku kembali memikirkanmu. Aku kembali memilikimu dan setiap mimpiku. Setidaknya itu hal paling menyenangkan untukku saat ini.
Aku berjalan menuju lemari di sudut kamarku. Perlahan kubuka pintunya. Kukeluarkan sebuah kotak hitam panjang. Kupandangi, begitu lama. Dengan sejuta putus asa, kubuka kotak itu. Kukeluarkan isinya. Sudah layu. Aku melihat bunga mawar putih yang dulu segar, kini layu.
Aku ingat saat kau memberikannya untukku. Begitu manis. Begitu indah. Caramu begitu sederhana. Tak ada satu pun kata kau ucapkan padaku saat kau berikan bunga mawar ini padaku. Namun, matamu yang sendu kala menatapku sudah cukup bagiku.
~
Tahukah kau? Ada sebuah rahasia kecil yang pernah kupunya sepanjang hidupku. Saat terindah dalam hidupku, adalah saat kau menemukanku. Kau mengangkatku begitu tinggi. Terlalu tinggi. Hingga aku tidak bisa bernafas. Namun, kau begitu membuatku nyaman. Saat berada di dekatmu, aku merasa sedang berada dalam suatu ruangan yang begitu hangat. Dapatkah kau meminjamiku hatimu? Dapakah aku menghuni hatimu? Aku ingin tinggal di dalam hatimu, selamanya.
~
Kabut masih menghalangi pandanganku pagi ini. Udaranya pun begitu dingin.
Maukah kau menemuiku besok? Itulah pertanyaanku untukmu hari ini.
Aku tak pernah menyangka kau akan berkata, “Iya.” Namun itu benar-benar kudengar. Jelas sekali. Dan nyata.
Dengan perasaan penuh, aku bersiap untuk menemuimu. Aku bahkan tak tidur semalaman. Kukenakan segala yang indah yang pernah aku punya. Namun, semuanya sia-sia begitu saja. Ketika kau memberi kabar melalui pesan singkat, bahwa kau tak bisa menemuiku karena ada keperluan yang lain.
Sepenting itukah keperluanmu? Lebih penting dari aku? Kenapa?
Aku sudah menyiapkan semuanya. Aku sudah menyusun kalimat yang indah yang akan kuucapkan saat bertemu denganmu. Tapi kenapa kau membatalkannya? Kenapa? Kumohon, beri aku satu alasan. Satu alasan saja.
Namun seperti biasa, kau selalu sedikit bicara. Apalagi, aku tak pernah bisa mencerna setiap kalimat yang keluar dari bibir tipismu. Aku tak pernah bisa mengerti, kenapa kau tiba-tiba berkata tidak? Padahal, kemarin kau sudah berjanji.
Aku memang tidak akan pernah mengerti dengan jalan pikiranmu. Terlalu sulit. Maka, buatlah kalimat sederhana yang mudah kumengerti. Beri aku alasan.
Aku hanya ingin kau tahu, bahwa terkadang sifat liarmu telah membuatku merasa hidup. Kesederhanaanmu membuatku nyaman. Sekali pun aku tak bisa menemuimu, aku percaya, hatimu tetap membuatku merasa nyaman. Karena, sejauh apa pun kau pergi, kau akan kembali untukku. Karena aku yakin kau pun telah tahu, bahwa hatimu adalah rumahku. Tempat aku pulang dan istirahat.
Selalu begitu. Aku akan selalu berpikir seperti itu. Aku akan selalu menanamkan dalam benakku bahwa hatimu adalah rumahku. Hingga aku benar-benar siap dan bisa menerima bahwa kau memang bukan untuk aku, saat ini, dan selamanya.
~