Senin, 14 Maret 2011

Rinai

empat puluh dua tahun. usiaku.

sekarang pukul empat lewat tiga puluh menit di dua puluh tiga desember.

aku mual.

masih sembab saja mataku. belum bisa aku tidur sejak kemarin malam. dan pagi ini aku sudah disibukkan untuk mengemasi barang-barangku. tepat jam sepuluh pagi nanti aku akan meninggalkan kotamu, Bayongbong, Garut.

aku masih mual. belum selesai aku menangis. tapi ini begitu membuatku tertekan. dan air mata ini tertahan begitu saja. aku kuat, seperti tahun yang sudah-sudah.

aku harus apa sekarang?

sayang, aku kesepian. begitu banyak orang di sekelilingku. tapi tanpamu, aku merasa sendirian. terdengar berlebihan. tapi itu betul.

sayang, satu per satu, lalu semua, pergi dariku. tahukah rasanya menyaksikan orang-orang yang kau cintai pergi meninggalkanmu?

bisakah kau lihat aku, sayang? kurasa diam dalam air mata sudah cukup menjawab.

bila malam telah mencapai puncaknya, aku begitu takut. seperti manusia serigala yang begitu dendam pada purnama. kau bukan nafasku, kau bukan hidupku, kau bukan segalanya bagiku. tapi kau adalah aku. aku merasa begitu. padahal aku selalu berkeyakinan aku hebat. tapi aku hanya perempuan. perempuan.

dulu, di dua puluh tiga desember, dua puluh tahun yang lalu, aku memintamu menikahiku. dan kau hanya diam. tidak tahu apa yang ada di kepalamu. dan untukmu, di dua puluh tahun ini, sesudahnya, kupastikan bahwa seumur hidupku aku tidak akan pernah menikah. meskipun terang-terangan keputusan itu telah membuat mama murka padaku. mama, wanita tua yang begitu mendambakan hidupku bahagia dengan lelaki pilihannya. yang mungkin barangkali jika aku menuruti kehendaknya, aku sudah berputera hari ini. ah, indahnya rencana mama untukku. aku tahu mama menyayangi aku melebihi perkiraanku. tapi bagiku, menikah itu satu kali. denganmu. dan jika tidak denganmu, maka pernikahan itu tidak akan pernah terjadi.

sayang, aku bosan. bosan sekali. begitu jenuh disini. aku harus pergi dari kotamu. jangan khawatir, sebelum aku pergi, aku akan mampir ke rumahmu sebentar. menemuimu. barangkali untuk yang terakhir. dan kupastikan, memang untuk yang terakhir.

disini.

aku sampai di rumahmu. lihat! tanah merah ini masih saja basah meskipun sudah bertahun-tahun kau tinggali. dan jahat sekali kamboja itu. tersenyum puas saat berhasil lepas dari tangkainya. segar-bugar, wangi. tidak adakah dia sedikit bersimpatik padaku?

sayang, aku merindukanmu. sungguh. betapa kehilangan ini tidak berkesudahan.

dan lihat, inilah bunga mawar terakhir untukmu. setelah hari ini, aku tak akan lagi kembali. ini, kuletakkan disini. di nisanmu.

aku. aku terdiam. menangis untuk sebuah alasan yang aku tidak mengerti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar